"Firmi belum datang? Tumben, biasanya dia yang datang paling cepat."
Arlene meletakkan tasnya dengan hati-hati di atas meja sebelum duduk di kursi yang kini sudah terasa nyaman baginya. Dengan segera dia mengeluarkan buku, pulpen, dan laptop, siap untuk bekerja.
"Dia selalu datang paling cepat karena tak punya siapa pun untuk menghabiskan waktu sepulang sekolah," gumam Kai dalam tidurnya.
"Dan Kak Kai selalu datang hanya untuk tidur. Kalau begitu buat apa kakak datang?"
"Karena aku juga tak punya siapa pun untuk menghabiskan waktu sepulang sekolah. Oh, kasihannya diriku."
Arlene ingat bahwa Kai sudah punya istri jadi dia tak sedikit pun merasa kasihan padanya. Justru Arlene merasa dirinya lebih patut dikasihani. Bagaimanapun dia memilih untuk bersekolah di Bukit Cahaya sementara teman-teman akrabnya sejak kecil bersekolah di Nusa Bangsa, sulit bagi mereka untuk bertemu dan meski bertemu Arlene selalu merasa ada semacam pembatas di antara mereka.
Arlene mencoba untuk tidak memikirkan hal itu dan memilih fokus pada pekerjaannya yakni menginput data nilai try out ke internet. Pekerjaan yang bukan main membosankannya itu malah membuatnya mengantuk. Mungkin dia harus refreshing sedikit, membuka facebook dengan wifi sekolah harusnya bukan masalah besar.
"Ooohh??? Sejak kapan anggota Osis diperbolehkan update status saat masih ada kerjaan yang menumpuk?"
"KYAAAA!!"
Sosok nenek sihir—maksudnya kepala sekolah, tiba-tiba muncul di belakangnya. Tanpa terkontrol jeritan Arlene bergema ke seluruh penjuru ruangan. Kai yang sedang tidur ayam langsung terbangun dan bersembunyi di bawah meja sementara Wanda yang tadinya berniat masuk langsung beralih haluan menuju kantin.
"Teriakanmu keras sekali, anak muda memang punya pita suara yang tebal ya?"
Jari-jari Bu Anna seolah bermain piano dengan pundak Arlene sebagai alat musiknya. Namun dibandingkan suara indah, yang dihasilkan oleh ketukan jari tersebut adalah getar ketakutan dari sang empunya pundak.
"Tak perlu takut tak perlu takut, saya tidak berniat memakanmu. Kau juga Blonde, keluar dari sana!"
Dengan kepala yang menyembul keluar Kai mengecek kanan dan kiri untuk memastikan keadaan aman sebelum akhirnya kembali duduk di kursinya.
"Ibu ingin bahas proposal sumbangan ini dengan kalian tapi kenapa cuma kalian berdua di sini? Mana si Firmi?"
"Umm, dia belum datang," jawab Arlene.
"Belum? Hmm, tadi guru wali kelasnya bilang dia absen. Saya kira dia membolos di sini tapi rupanya dia benar-benar nggak datang. Bagaimana ini?"
Dia menepuk-nepuk proposal tersebut ke pundaknya dengan dahi berkerut, dan tepat di saat itu Airu memasuki ruang Osis dengan bergaya.
"Hellow Boys and Girls and… Old Lady? Oh tidak tidak, jika ini proposal baru maka jangan harap!"
Bu Anna menampar wajah Airu dengan proposal di tangannya dan seolah tak tersinggung dengan sapaan old lady dia berkata, "Itu proposalnya segera revisi. Pokoknya minggu depan harus sudah terlaksana." Bu Anna pun langsung pergi begitu saja.
"Kalian tahu, mungkin kita perlu mengadakan pemilihan ketua Osis baru 9 bulan lebih awal jadi aku bisa pensiun lebih cepat. Arlene, selamat! Kau terpilih menjadi ketua Osis berikutnya."
"Lah? Kok aku?"
"Kalau bukan kau siapa lagi? Firmi? Hahaha! Bisa-bisa aku mati tertawa, membayangkan saja aku tidak berani. Singkatnya kau sudah dipastikan jadi ketua Osis tahun depan jadi berjuanglah, kabur secepat yang kau bisa."
Airu berputar di kursinya dan mencampakkan proposal Bu Anna begitu saja ke tengah meja seolah berharap proposal itu akan hidup dan merevisi dirinya sendiri.
"Tapi ini memang aneh sih, baru tahun ini aja kegiatan Osis jadi seramai ini," gumamnya lagi. "Aku tak akan mengeluh karena ini perkembangan yang baik tapi kita kekurangan orang, orang-orang yang benar-benar punya niat," tambahnya lagi, memicingkan mata kearah Kai yang sudah kembali ke alam mimpi.
"Tenang saja Ketua, tahun depan akan kucari anggota baru yang berbakat."
"Ooh? Kau tidak berniat kabur? Baguslah kalau begitu, kau dan Firmi akan beranak pinak dan menyuburkan kembali ruangan ini."
"Kenapa sih kalian suka sekali menjodohkanku dengannya?"
"Ngomong-ngomong ke mana perginya anak itu?" tanya Airu mengalihkan pembicaraan, "Aku belum melihatnya."
Arlene, yang sudah mendengar pertanyaan itu tiga kali dalam 10 menit, menjawab bosan, "Bu Anna bilang dia absen."
"Absen? Apa dia mengembara untuk menyembuhkan patah hatinya? Sayang sekali, sekarang pada siapa aku harus melimpahkan proposal ini?"
"Kau harus mengerjakannya sendiri."
Airu mendesah pelan. “Pekerjaan Osis ini tidak sesuai dengan yang kuharapkan. Bukankah dalam film atau anime Osis harusnya melakukan sesuatu yang keren seperti menyelamatkan dunia? Kenapa kita malah sibuk dengan proposal dan proposal?”
“Kau terlalu banyak berkhayal.”
Arlene juga merasa ekspektasinya akan Osis menjadi semakin dan semakin terkhianati seiring waktu yang dia habiskan di sini. Sejak awal dia memang tidak berniat untuk bergabung tapi ini adalah hukuman yang ayahnya berikan karena gagal dalam ujian masuk ke Sma Nusa Bangsa. Menurut ayahnya bergabung dengan Osis akan membuat para guru memberinya nilai lebih dan memang benar, nilai rapor Arlene sejak masuk Sma merupakan yang tertinggi dalam sejarah pendidikannya. Meski demikian Arlene merasa isi tengkoraknya sama sekali tidak berubah.
"Lo? Firmi belum datang?"
Saking bosannya mendengar pertanyaan itu Arlene memilih diam saat Wanda datang untuk kedua kalinya dan membiarkan Airu menjawab pertanyaan itu.
"Absen? Coba kutelpon dia."
"Hmm? Dari mana Kak Wanda punya nomornya?" tanya Arlene saat Wanda menekan tombol memanggil di ponselnya.
"Kenapa? Kau cemburu ya?"
"Oh ayolah, tak adakah orang yang bisa bersikap serius di sini?"
"Nggak usah ngambek begitu. Dia janji buat ngajarin aku jadi kami bertukar nomor. Tapi kok nggak diangkat ya?"
Wanda mencoba menelpon sekali lagi namun hasilnya tidak berubah. Kecewa, dia menghembuskan napas berat dan mulai belajar sendiri."Kau bilang dia janji ngajarin kau?" gumam Kai dalam tidurnya, sesungguhnya Arlene tak mengerti apakah orang itu benar-benar tidur atau tidak. "Apa dia bilang bayarannya apa?"
"Maksudnya?"
"Dia itu nggak mau kerja cuma-cuma," Kai mengangkat kepalanya dari atas meja sehingga mereka bisa melihat wajahnya yang merah dan penuh air liur khas balita yang baru terbangun. "Aku aja harus ngasih dvd porno favoritku sebagai bayaran."
"Bisa nggak pembicaraannya di filter ke wilayah 18 tahun ke bawah?"
"Dia minta," jawab Wanda seolah tak mendengar teguran Arlene. "Tapi dia juga bilang nggak tau mau minta apa jadi dia menganggapku berhutang."
"Kujamin dia akan minta sesuatu yang plus plus."
"Bisa nggak pembicaraannya di filter ke wilayah 18 tahun kebawah?!" tegur Arlene lagi dengan suara yang sedikit lebih keras.
Wanda mengangguk. "Oh ya, benar, jangan biarkan si cabul Kai mendapatkan apa yang dia mau."
"Hadehh, makanya cepat-cepat nikah sana!"
Arlene merasakan getaran di sakunya yang menjadi pertanda panggilan masuk. Bibirnya mengerucut sedikit begitu melihat nama pemanggil dan semakin terkejut saat si pemanggil bilang bahwa dia menunggu di depan gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Cheater
Teen FictionFirmi bukanlah murid biasa. Tak ada yang tahu siapa dia, bahkan dirinya sendiri pun tak tahu. Namun, kedatangannya ke Sma Bukit Cahaya membawa badai besar yang berujung pada gerakan konspirasi di sekolah. Perlahan-lahan Firmi pun belajar menjadi ma...