Ancaman

9 5 0
                                    

Beberapa hari setelah pertemuan dengan Albus, Firmi tanpa sengaja bertemu dengan Bu Anna saat wanita itu masuk ke ruangan Osis. Selama ini Firmi selalu bersembunyi setiap kali dia muncul, tetapi karena kemunculannya kali ini tidak terduga Firmi tidak sempat untuk masuk ke lemari sehingga keduanya pun bertatap muka untuk pertama kalinya sejak Firmi absen dari sekolah.

“Firmi? Masih hidup rupanya kamu.”

“Anda terdengar sangat kecewa.”

“Penilaianmu pada saya benar-benar rendah ya? Tentu saja saya cemas. Kalau kamu ditemukan tewas entah di mana itu akan memperburuk citra sekolah ini.”

Firmi hanya menggaruk-garuk lehernya yang gatal. Dia memilih mengabaikan basa-basi dan langsung membahas topik utama.

“Anda punya perlu di sini?”

“Tidak ada yang khusus, hanya mengecek perkembangan kalian. Kamu tahu sudah berapa sumbangan yang terkumpul?”

“Ya, aku tahu. Tapi Anda benar-benar bergerak sendiri. Sudah merasa hebat rupanya.”

“Haduhh, Firmi. Bahkan jika tangan dan kaki putus kita harus tetap berjalan.” Bu Anna tersenyum tipis dan duduk di kursi depan Firmi. “Apa kau merasa terkhianati?”

“Tidak juga. Sejak awal saya memang tidak percaya Anda.”

“Tepat sekali. Hubungan kita adalah saling menguntungkan, tapi bila semua bisa saya lakukan sendiri maka sudah tak ada ruang untukmu.”

“Okay. Silahkan nikmati saja uang Anda.”

Firmi kembali membaca novel yang sedari tadi ada di tangannya, tapi Bu Anna tampaknya tak membiarkannya lewat begitu saja.

“Kamu sudah lama tidak masuk sekolah. Ibu barumu, Bu Mina, benar-benar khawatir dan menelpon setiap hari. Kau tidak seharusnya membuat wanita sebaik dia merasa cemas.”

“Kurasa itu bukan urusan Anda.”

“Ya, kau benar. Semoga dia selalu baik-baik saja tanpa kau dalam hidupnya.”

Bu Anna mengeluarkan senyuman intimidasi dengan tatapan penuh arti sebelum meninggalkan ruangan. Mata Firmi mengikuti Bu Anna hingga sosoknya menghilang di balik pintu, bahkan setelah sosok itu menghilang, Firmi tetap menatap area kosong yang sama.

“Hei, kau melamun apa?”

Belakangan Firmi merasa dia telah kehilangan sense of time karena beberapa kali sudah waktu seolah terlewat dalam sekejap mata. Bel istirahat berbunyi tanpa dia sadari dan kini Arlene sudah duduk di kursi yang sama dengan yang tadi diduduki Bu Anna.

“Aku hanya berpikir… ada banyak sekali orang yang hidup di atas penderitaan orang lain.”

“Kau nggak bisa melamun yang lebih normal ya? Melamunkan masa depan bahagia contohnya.”

“Tak akan ada yang namanya kebahagiaan di negara ini selama kapitalis masih dibiarkan lepas tak terkontrol. Apa kau tahu kalau pegawai Amazon dipekerjakan sangat keras padahal pemiliknya adalah salah satu orang terkaya di dunia?”

“Kau mau ngomong apa sih?”

“Bagaimana denganmu Arlene? Apa kau rela membuat orang lain menderita demi kebahagiaanmu sendiri?”

“Ya nggaklah. Apa gunanya bahagia di atas penderitaan orang lain?”

“Menurutmu begitu, tapi semua orang melakukannya. Kalau kau berbisnis itu artinya kau merebut pelanggan orang lain. Kalau kau jadi pegawai negeri itu artinya negara akan terus mengeruk pajak dari rakyat miskin untuk membayar pekerjaanmu yang mungkin tak seberapa. Dunia ini memang begitu, kau hanya tidak sadar saja.”

Arlene menatap Firmi dengan campuran ekspresi geli sekaligus takut.

“Jadi… intinya apa?” tanyanya pelan-pelan.

“Intinya… jangan pedulikan semua itu. Hiduplah seperti apa yang kau mau. Jangan pikirkan hal-hal yang tidak penting karna otak manusia itu terbatas, pedulilah pada yang penting-penting saja. Bahkan jika dalam proses hidupmu seseorang hancur… yah, begitulah hidup.”

Firmi menutup novelnya keras-keras. Kalau diingat kembali, sudah lama dia tidak bertemu Len.

***

Satu hari menjelang pengumpulan uang, Airu mendapat kabar dari Albus tentang tindakan tak wajar yang dilakukan oleh kepala sekolahnya. Entah untuk apa, Kepala Sekolah Nusa Bangsa membeli sebuah koper berukuran cukup besar dan disembunyikan di kantornya. Di hari yang sama, Airu tanpa sengaja melihat Bu Anna membeli sebuah koper besar saat menguntit orang tersebut berbelanja ke mall.

“Dua koper, uang recehan. Sudah jelas akan lebih aman untuk melakukan semua secara manual. Transfer bank pasti akan meninggalkan jejak digital. Menurutmu, kira-kira bagaimana mereka akan menilap uangnya?”

Saat itu sudah sore, Firmi mengajak Airu untuk berjalan mengelilingi sekolah yang sudah kosong. Airu agak heran mengapa Firmi tiba-tiba ingin mengelilingi sekolah, tetapi dia tidak bertanya apa-apa.

“Menurutmu sendiri, bagaimana?” Firmi melempar balik pertanyaan itu.

“Kurasa rencananya tak akan terlalu rumit. Uang yang terkumpul akan dimasukkan ke koper dan kopernya dikirim ke tempat bencana. Tapi, koper yang dikirim adalah koper Bu Anna, koper yang kosong.”

Alis Firmi otomatis terangkat begitu mendengar ucapan Airu, dia tidak menyangka Airu bisa memikirkan penjelasan yang mudah dan efisien. Airu pun melanjutkan;

“Kurasa ada banyak orang yang pura-pura meminta sumbangan tapi akhirnya uang sumbangan itu masuk ke kantong sendiri. Selama ada bukti uangnya sampai ke tempat kejadian maka sebagian besar orang tak akan peduli lagi dengan uang sumbangan mereka, terlebih jika yang mengatur sumbangan punya status tinggi seperti Kepsek Nusa Bangsa. Di perjalanan menuju ke sana, kenalan Bu Anna bisa saja mengatur dan memindahkan sebagian uang sumbangan dari pihak lain untuk mengisi koper kosong itu.”

“Hmm, masuk akal. Aku juga berpikir begitu.”

“Sungguh? Yep, aku tahu pasti begitu.”

Firmi hanya tersenyum kecut saat Airu berbangga diri karena sudah memikirkan semua itu.

“Bagaimana ayahnya Annie? Siap di tempat?” tanya Firmi.

“Umm… aku mencoba menghubunginya sejak tadi tapi belum ada respon. Aku akan datangi rumahnya secara langsung nanti, dia pasti akan membantu,” jawab Airu yakin.

“Menurutmu uangnya akan diapakan kalau kasus ini ketahuan?”

“Uang itu pasti akan disita sebagai barang bukti,” jawab Airu kecewa. “Sayang sekali, jumlahnya pasti sampai puluhan juta.”

“Kurasa kalau kita memilih bekerja sama dengan Bu Anna, dia akan memberi kita bagian yang lumayan. Belum terlambat untuk berganti haluan.”

Airu meliriknya sebentar sebelum bertanya, “Apa kau mengetesku?”

“Memangnya apa yang perlu kutes?”

“Entahlah, kurasa kau punya niat tersembunyi di balik ucapanmu.”

“Niat tersembunyi? Apa contohnya?”

“Entahlah, mana kutahu. Orang sepertimu sangat sulit dibaca, kau juga tak mengijinkan siapa pun cukup dekat untuk bisa membacamu. Saat kau melakukan sesuatu, semua orang pasti tak akan paham apa yang sudah terjadi.”

Mendengar itu, Firmi memiringkan kepalanya sedikit. Meski Airu jelas-jelas bukan saingannya dalam kecerdasan, tetapi Airu memiliki sesuatu yang membuatnya bisa merasakan sesuatu meski dia tak mengerti hal tersebut. Intuisi, itulah penjelasan terbaik yang bisa Firmi simpulkan.

“Setelah lulus nanti kau bisa coba daftar kepolisian. Kurasa kau akan cocok jadi polisi,” ucap Firmi.

“Polisi? Aku berencana jadi bos perusahaan besar.”

“Ohh, semoga beruntung.”

Firmi mengangguk sungguh-sungguh tapi Airu hanya membalasnya dengan tawa keras sembari menepuk punggung Firmi.

“Kau juga, semoga beruntung.”

Crazy CheaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang