02. Dia yang tidak diharapkan

5.1K 521 3
                                    


.
.
.
.
.
Suasana rumah mewah itu sedang panas, bagaimana tidak jika lima dari tujuh anak laki-laki nya menolak permintaan sang ayah.

Langit sedang mencoba membujuk ke tujuh putra nya dengan Mega agar menerima Ares di rumah itu.

"Papa gila? Papa mau bawa anak selingkuhan papa ke sini?!" Langit menatap lekat pada Leo, anak ketiga nya itu tampak sangat marah.

"Leo, dengarkan papa. Cuma papa yang dia punya sekarang-"

"Leo gak peduli! Kalau papa masih tetap bawa anak itu kesini, jangan harap Leo bakal nerima dia!" setelah mengatakan itu Leo beranjak dari ruang keluarga, namun sebelum Leo menginjakan  kaki nya di tangga, ucapan Mega sontak membuat dia berhenti, bahkan semua anak-anak nya menatap bingung. Ya kecuali dua orang anak nya yang hanya diam tanpa argumen.

"Dia akan tetap tinggal disini, mama yang minta papa buat bawa dia kesini. Ada hal yang belum kalian ketahui tentang papa dan mama selama ini, jadi mama mohon bersikap baiklah pada Ares nanti."
.
.
.
.
.
Ares menatap langit dari halaman belakang rumah nya, lusa dia sudah akan meninggalkan rumah penuh kenangan ini. Tinggal bersama keluarga sang ayah yang bahkan tidak pernah dia kenal.

Ares harus meninggalkan Jogja dan pergi ke jakarta, ke tempat sang ayah.

"Bun, Ares turuti kemauan bunda buat ikut ayah tinggal di jakarta. Tapi hanya enam bulan, Ares hanya akan bertahan enam bulan disana." Ares mengepalkan tangannya saat mengingat syarat yang dia berikan pada Langit kemarin.

"Ares tau, tidak mudah untuk keluarga ayah nerima Ares. Siapa sih yang mau nerima anak suami atau ayah nya dari wanita lain."

"Tapi sama seperti yang selama ini bunda ajarin ke Ares, Ares gak boleh benci. Ares gak boleh balas mereka dengan buruk apapun perbuatan mereka ke Ares, meskipun Ares tau siapa yang patut disalahkan nanti nya." Ares kembali menitikan air matanya, sudah tiga hari sejak kepergian sang bunda, namun air mata Ares masih suka menetes dengan sendirinya.

Ares memejamkan matanya, jika dulu akan ada sang bunda yang suka rela memeluk dirinya, setelah ini dia hanya akan sendiri. Berjuang dan memeluk dirinya sendiri.

"Ares gak masalah kalau mereka benci Ares bun, tapi maaf sebelumnya kalau Ares gak akan bisa nepatin janji Ares ke bunda seandainya mereka ngehina bunda."
.
.
.
.
.
Mega masuk kedalam kamar Igel, anak keenamnya. Dia baru saja mengecek kamar anak-anak nya yang lain dan memastikan semua anak-anak nya tidur.

"Kenapa belum tidur?" Igel yang sedang memainkan ponsel nya sambil duduk di atas kasur langsung menoleh.

"Belum bisa tidur ma, lagi pula mama juga belum tidur." Mega tersenyum saat melihat putra nya itu meletakan ponsel nya.

"Kamu ini, mama nanya kok malah di balikin lagi ke mama." Igel tertawa kecil.

"Dia kan ma? Anak dari wanita yang mama ceritain? Anak dari sahabat yang mama khianati?" Mega mengangguk dan menatap sendu pada Igel. Putra nya satu itu memang sudah mengetahui kisah nya juga kisah tentang sahabatnya, Indah.

"Jangan bersikap buruk ya Gel, bagaimana pun dia gak bersalah. Papa dan mama yang salah disini." Igel hanya menghela nafas panjang.

"Selama dia gak ganggu saudara-saudara Igel, Igel gak akan ganggu dia." Mega tersenyum dan mengelus kepala Igel.

"Udah sekarang tidur, udah malem banget ini." Igel mengangguk dan segera merebahkan tubuhnya di ranjang saat Mega beranjak keluar setelah mematikan lampu kamar nya.

"Dia memang gak salah ma, tapi kalau yang lain gak tau yang sebenarnya pasti susah buat nerima dia."
.
.
.
.
.
Mega kembali ke kamar nya setelah memastikan Rius telah terlelap, wanita itu bisa melihat suaminya tengah duduk di atas ranjang.

"Mas Langit." Langit menoleh dan mengulas senyum tipis pada nya.

"Mas, seharusya mas Langit tetap disana, nemenin Ares." Langit tersenyum sendu mendengar itu.

"Ares bahkan mengusirku saat pertama kali aku mwas ngajaknya pulang Ga." Mega tersenyum sendu.

"Maaf mas, maafin aku ya. Seandainya bukan karena aku, Indah pasti masih ada disini." Langit menggeleng.

"Gak, ini salah ku. Semua nya berawal dari aku, jangan salahin diri kamu sendiri." Mega tersenyum.

"Mas, kalau Ares sudah disini, jangan pernah bertindak tidak adil ya?" Langit mengangguk.

"Tenang saja, aku akan berusaha bertindak adil untuk mereka." Mega beranjak duduk di samping Langit.

"Anak itu mirip dengan Indah, hanya mata nya yang mirip sama mas." Mega menatap selembar foto yang saat ini tengah di pegang oleh Langit. Foto Ares dan sang bunda.

"Ya, Indah meninggalkan harta nya untuk kita jaga." Langit tersenyum lirih.

"Indah terluka, dia minggalkan semuanya di jakarta dan memilih hidup sendiri di jogja. Melahirkan dan membesarkan anak nya sendirian pasti sangat berat, bahkan orang tua nya juga tidak mengetahui hal itu." Langit mengangguk.

"Lusa saat Ares datang, aku akan membawanya ke rumah orang tua Indah." Mega terkejut mendengar hal itu.

"Mas! Kamu janji mau ngerawat dia!" Langit tersenyum.

"Ares akan tetap tinggal disini Mega, aku cuma mau Ares tau siapa keluarga bunda nya. Mereka berhak tahu jika Indah sudah pergi dan meninggalkan anak tunggalnya sendirian."
.
.
.
.
.
"Bunda..."

"Bunda..."

"Hhh...Hhh...B-bunda..."

Deg

Ares membuka matanya, kedua netranya bergerak panik saat merasakan nafasnya memberat juga tubuhnya yang terasa sakit. Dengan cepat Ares membuka laci nakas nya dan mengambil tabung obat miliknya, meminumnya tanpa bantuan air.

"Ck." Ares berdecak kesal saat lagi-lagi dia harus meminum obat itu.

"Bunda, Ares kangen." Ares menggenggam erat tabung obat kecil itu. Selama ini alasannya tetap meminum obat itu adalah sang bunda, namun saat ini Ares meminum obat itu karena janji nya pada sang bunda.

"Bun, kalau nanti Ares capek, tolong ajak Ares ya." setelah mengatakan itu, mata tajam Ares memejam perlahan. Ares kembali terlelap, membawa serta rasa sakit nya.

Ares hanya seorang pemuda yang cukup pendiam, namun suara tawanya mampu membawa orang di sekitarnya ikut tertawa.

Ares kecil sudah terlampau kenyang menerima berbagai macam hinaan, hanya karena dia tinggal berdua dengan sang bunda. Hal itu membuat Ares tumbuh menjadi anak yang terlihat apatis di luar, namun di dalam pemuda itu menangis. Berteriak dan memaki siapa pun yang berani menghina sang bunda.

Ares akan selalu memasang badan untuk melindungi sang bunda, bahkan setelah bunda nya meninggal. Ares akan tetap memasang badan untuk siapa pun yang berani menghina sang bunda.

Bagi Ares, Indah adalah wanita terbaik yang dia kenal. Bunda nya, orang yang melahirkan nya ke dunia dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Constellation (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang