05. Menjadi saudara?

4.1K 480 7
                                    


.
.
.
.
.
Ares menatap langit-langit kamar baru nya, atau mungkin lebih tepat nya kamar yang dulunya milik sang bunda. Ares tau jika anak-anak ayah nya tidak menerima kehadiran nya di rumah ini.

"Hah." Ares menghela nafas panjang.

Pemuda itu baru saja membereskan pakaiannya kedalam lemari, juga meletakan barang-barang penting nya di laci nakas.

Tok

Tok

Tok

Ares membuka pintu kamar nya setelah mendengar tiga kali ketukan disana.

Cklek

"Lo dipanggil papa di ruang keluarga." Ares berkedip saat sosok tinggi itu langsung berlalu pergi.

"Itu tadi Hadar kan?" Ares bergumam lirih sambil kembali menutup pintu kamarnya. Tujuannya saat ini adalah ruang keluarga.

Langkah kaki Ares berhenti saat melihat Langit tengah berkumpul dengan anak-anak nya juga Mega, rasanya Ares ingin kembali ke kamarnya dan menyembunyikan kehadirannya.

"Mereka bahagia banget."

"Ares sini." Ares mengerjap saat suara lembut Mega memasuki indra pendengarnya.

"Ares, duduk sini. Papa mau ngobrol sama kamu." Ares menurut, tidak ada gunanya juga menolak. Ya meskipun Ares harus rela di tatap tajam oleh beberapa saudara baru nya.

"Surat-surat kepindahan kamu sudah ayah terima, ayah juga sudah daftarkan kamu ke kampus yang sama dengan Alta. Jadi nanti kamu bisa berangkat sama Alta selama kamu belum hafal jalan di jakarta." Ares lagi-lagi hanya merespon dengan anggukan.

"Kamu mulai kuliah lusa Res, nanti sore atau besok kamu bisa beli perlengkapan kamu diantar Alden ya." Leo yang mendengar nama kembarannya di sebut jelas tidak terima.

"Kenapa harus Alden sih ma? Alden harus istirahat besok." Mega menghela nafas panjang mendengar ucapan Leo.

"Apaan sih Le, iya ma nanti Alden yang anterin bang Ares buat beli perlengkapannya."
.
.
.
.
.
Igel diam di balkon kamarnya setelah obrolan Langit dan Ares selesai, saat ini pemuda itu tengah memperhatikan Ares yang tengah duduk di bawah pohon mangga belakang rumah mereka, sendirian.

Igel sudah memperhatikan kakak baru nya itu lebih dari satu jam, awalnya Igel kira Ares akan pergi dari sana tidak lama namun sampai saat ini Ares bahkan masih betah duduk disana sambil menatap ke arah ponselnya.

"Dia lagi ngapain sih?" Igel sebenarnya penasaran. Ares sama sekali tidak mengeluarkan suara kecuali saat menyahuti sang mama tadi, selebihnya Ares hanya akan mengangguk dan menggeleng.

"Bang Igel lagi ngapain?" Igel tersentak kaget saat mendengar suara Rius di sebelahnya.

"Abang dari tadi ngeliatin bang Ares?" Igel menatap Rius lekat sebelum mengangguk, percuma juga berbohong pada Rius, pasti anak itu akan langsung tahu.

"Ya, dia aneh." Rius ikut menatap ke arah Ares.

"Bukan aneh sih bang, tapi emang diem di sana itu adem banget." Igel tidak menjawab.

"Gue kira lo benci sama bang Ares bang." Igel tertawa kecil.

"Apa yang harus gue benci dari dia?" Rius mengedikan bahunya.

"Mungkin karena dia anak papa sama perempuan lain? Atau karena dia anak dari sahabat mama?" Igel menghela nafas, dia sudah tahu jika Rius pasti mengetahui hal itu juga.

"Lo sendiri? gak benci?" lagi-lagi Rius mengedikan bahunya.

"Gue bakal benci kalau dia ganggu kalian bang, tapi sekarang dia gak ngapa-ngapain kok." Igel tertawa kecil.

"Gue tau lo peduli sama dia, jangan gengsi buat ngakuin Ri." Rius hanya diam, tatapannya lekat ke arah Ares.

"Diantara kita semua, mas Alta mungkin jadi yang paling terluka waktu tau kebenarannya bang. Apa lagi kalau mas Alta denger dari orang lain." Igel menghela nafas berat dan mengangguk.

"Mama sama papa janji mau bilang tentang itu semua secepetnya."

"Semoga."
.
.
.
.
.
Ares baru saja berjalan ke lantai dua, berniat kembali ke kamarnya. Sebelum kedua netranya menemukan salah satu adik baru nya berdiri menatapnya.

"Seharusnya lo tau malu." Ares langsung berhenti melangkah saat mendengar ucapan itu.

"Lo itu anak pelakor, seharusnya lo itu gak mimpi buat hidup disini!" Ares tidak menjawab, bukan tidak bisa namun tidak mau. Karena Ares tau jika dia menjawab maka dia akan membuka sebuah rahasia.

"Inget ya, jangan harap lo di terima disini!" Ares menoleh saat mendengar langkah kaki menjauh, pemuda itu mencoba mengingat siapa yang baru saja berbicara padanya.

"Leo." Ares mengingat wajah tampan salah satu adiknya yang duduk di sisi sang ayah tadi.

Ares memutuskan masuk kedalam kamarnya, bahkan pemuda itu mengabaikan seorang pemuda yang menatapnya iba dari balik salah satu pintu kamar yang terbuka.

"Belum sehari bun, Ares pasti bisa kan?" Ares kembali bergumam lirih begitu masuk kedalam kamarnya.

"Masih ada waktu enam bulan Res kamu pasti bisa. Yang penting usaha dulu." Ares memutuskan merebahkan tubuhnya di ranjang, sejujurnya dia mengantuk karena belum sempat tidur sejak kemarin.

Mata dengan netra hitam tajam itu perlahan menutup dan membawa Ares pada mimpi yang selalu diharap mempertemukannya dengan sang bunda.

Cklek

Pintu kamar Ares kembali terbuka, Alden masuk dengan perlahan. Memastikan Ares sudah terlelap sebelum menatap lekat pada wajah Ares.

"Bang Ares, selamat datang di rumah ini ya. Maafin Alden sama saudara-saudara Alden kalau nanti mereka kasar ke abang. Abang pasti tau gak mudah buat nerima anak lain dari papa bang." setelah mengatakan itu Alden beranjak pergi, meninggalkan Ares yang masih setia terlelap karena lelah.

"Kamu habis darimana Den?" Alden tersenyum dan merangkul pundak Alta, saat melihat kakak sulung nya itu baru saja keluar dari kamarnya.

"Habis dari kamar bang Ares, tapi ternyata dia tidur. Padahal mau Alden ajak buat beli perlengkapan kuliah nya." Alta mengulas senyum dan menepuk tangan Alden.

"Mungkin dia capek Den, ayo ikut aku turun aja, aku pingin jus mangga."
.
.
.
.
.
Igel menghela nafas panjang saat Langit meminta nya memanggil Ares untuk makan malam, beruntung Igel tidak menggerutu dan langsung naik ke lantai dua.

Tapi berbeda dengan Leo dan Hadar, memang di antara mereka bertujuh hanya Leo dan Hadar yang menunjukan kebenciaannya terang-terangan.

"Ngapain pakai di panggil sih pa? Dia harusnya tau waktunya makan malam kan." Langit tidak bisa menjawab saat Leo kembali mengeluarkan ucapan sarkas.

"Iya nih, manja banget. Apa-apa harus dipanggil, belum sehari aja udah ngerepotin!"

Sedang di kamar Ares, pemuda itu tengah berkutat dengan rasa sakit yang menyerang tubuhnya. Area terbangun dengan rasa sakit yang bahkan membuat dia meringkuk di atas ranjang sebelum berhasil meminum obatnya.

Cklek

"Bang Ares." Ares yang sudah merubah posisi nya menjadi duduk langsung menoleh ke arah pintu. Sedangkan Igel yang melihat wajah pucat Ares mengernyit bingung.

"Lo sakit?" Ares menggeleng pelan, hal itu membuat Igel berdecak pelan.

"Paa nunggu di bawah buat makan malam, tapi kalau lo sakit gue bisa bilangin ke papa." lagi-lagi Ares menggeleng.

"Saya gak papa." Igel memutuskan untuk tidak peduli dan segera keluar dari kamar.

"Cepetan, nanti bang Leo marah!"
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Constellation (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang