09. Perlu penting

3.5K 453 20
                                    


.
.
.
.
.
Sudah sebulan Ares tinggal dengan keluarga sang ayah, selama itu juga Ares masih harus bersabar jika mendengar ucapan sarkas Leo dan Hadar, bahkan beberapa kali Ares mendapati Alta, Rion dan Alden memasang ekspresi terganggu jika Ares ada di sekitar mereka.

Ares sudah berjanji pada sang bunda untuk tidak membenci mereka, tapi bagaimana pun Ares tetap manusia biasa. Pemuda mungil itu terkadang ingin ikut melempar ucapan sarkas pada Leo maupun Hadar, namun dia sadar, dia menumpang di rumah itu.

"Bunda." Ares sebisa mungkin menjaga jarak dengan anak-anak sang ayah. Bahkan dengan Alta yang setiap hari harus berangkat ke kampus bersama.

"Ares pingin pulang, kayak nya lebih enak tinggal di rumah bunda." Ares menghela nafas panjang, dia baru saja pulang sebenarnya, dan ingin mandi dulu sebelum makan malam.

"Ares rasanya capek deh bun."

Tok

Tok

Tok

Ares bangkit dari duduk nya dan beranjak membuka pintu kamarnya, ada Alden tengah berdiri di depan kamar Ares dengan senyum.

"Bang Ares, di suruh papa turun, habis ini makan malam." Ares hanya mengangguk.

"Iya sebentar, saya mau ganti baju dulu." Alden ingin sekali melongok ke dalam kamar Ares, tapi pemuda itu hanya membuka sedikit pintu kamarnya.

"Cepetan ya bang, katanya papa mau ngomong sesuatu yang penting juga."
.
.
.
.
.
"Papa sama mama mau ke amerika, ada pekerjaan yang harus papa kerjakan dan mama harus ikut." ucapan Langit membuat anak-anak nya terdiam.

"Berapa lama pa?" Langit menatap pada Alta yang baru saja bertanya.

"Papa belum tau, tapi papa usahakan supaya pekerjaan disana cepat selesai." Alta mengangguk begitu pula adik-adiknya. Berbeda dengan Ares yang hanya duduk diam.

"Ares, mama bisa titip adik-adiknya ya? Jagain mereka." Ares hanya bisa mengangguk.

"Kalian juga, yang nurut sama abang nya." Alden, Leo, Rius, Hadar, Igel dan Rius mengangguk paham.

"Ya sudah kalian bisa kembali ke kamar, kecuali Ares." Ares hanya menatap lekat pada Langit.

"Ayah mau ngomong penting sama kamu." Ares akhirnya mengangguk, percuma juga membantah Langit.

"Ikut ke ruangan ayah." Ares mengikuti langkah kaki Langit ke ruang kerjanya. Sedangkan di ruang keluarga Rius menatap khawatir pada Ares.

"Ma, papa gak bakal ngapa-ngapain bang Ares kan?" Mega menggeleng, karna dia tau apa yang ingin di bicarakan oleh suaminya itu.

"Ma, kapan mama sama papa mau cerita ke yang lain?" Mega langsung terdiam begitu mendengar pertanyaan Igel.

"Bukan sekarang Gel." Igel terlihat tidak suka.

"Kapan ma? Gak kasihan lihat bang Ares?" Mega merasa tertampar saat ini.

"Igel mau setelah mama sama papa kembali dari amerika kalian cerita, lebih baik mereka dengar langsung dari mama sama papa dari pada mereka dengar dari orang lain ma."
.
.
.
.
.
Ares hanya diam saat Langit lagi-lagi memintanya menjaga anak-anaknya yang lain. Bahkan tidak pernah sekalipun Langit bertanya soal dirinya.

"Kamu paham Ares?" Ares hanya mengangguk.

"Pastikan adik-adik kamu aman selama ayah sama mama gak ada, awasi mereka. Jangan sampai ada goresan sedikit aja, terutama Alta. Mereka tanggung jawab kamu, jadi apapun yang mereka lakukan nanti ayah pasti akan minta tanggung jawab kamu. Paham?!" Ares terlalu bosan mendengar kata-kata Langit yang itu-itu saja. Pemuda mungil itu memilih mengangguk, dia sudah cukup lelah hari ini.

"Bagus, ayah sama mama berangkat besok pagi. Sekarang kamu bisa kembali ke kamar mu."

Ares melangkah keluar dari ruangan Langit dengan tatapan kosong, bukan sekali dua kali Langit seperti itu padanya. Terhitung sejak dia tinggal di rumah ini, Langit sudah beberapa kali mengabaikan Ares dan lebih mementingkan anak-anaknya yang lain.

"Ares, sudah bicara dengan papa?" Ares berhenti dan menatap pada Mega yang tengah duduk di ruang keluarga bersama Igel. Ares mengangguk kecil.

"Bisa sekarang mama yang bicara sama kamu?" Ares mengernyit, kenapa tidak sekalian saja tadi.

"Bicara apa?" Mega tersenyum.

"Jaga adik-adik kamu, jangan biarkan mereka terluka. Terutama untuk Alta, dia tanggung jawab kamu. Mama bakal marah kalau sampai kamu lalai Ares." Ares menghela nafas panjang dan mengangguk, lagi-lagi seperti itu.

"Ayah sudah bilang tadi, kalau begitu saya permisi ke kamar." Mega mengangguk acuh, namun itu semua membuat Igel tidak suka.

"Mama bersikap seolah bang Ares hanya pengasuh disini." ucapan Igel membuat Mega terdiam kaku.

"A-apa maksud kamu Gel?" Igel bangkit dari duduknya dan akan kembali ke kamarnya.

"Mama ngomong kayak gitu tanpa mikirin perasaan nya bang Ares kan? Mama sendiri yang bilang, kalau bang Ares itu anak papa, anak mama juga. Tapi sikap kalian terlalu berbeda, bahkan Igel yakin mama sama papa gak sadar kalau bang Ares kelihatan pucat kan?"
.
.
.
.
.
Ares memutuskan bersandar di pintu kamarnya, hari ini dia sedang tidak ingin di ganggu. Pemuda mungil itu menghela nafas kasar sebelum memutuskan menghampiri piano nya, menekan tuts demi tuts hingga membentuk nada sempurna.

Ares hanya tidak tahu saja jika sejak awal dia bermain piano, ada Rius yang tengah memperhatikannya dari balik pintu.

"Ugh.." Ares seketika menghentikan permainannya begitu merasakan kepalanya sangat sakit.

"Ck..." dengan cepat Ares beranjak menuju nakas, mengambil tabung obat miliknya dan meminum dua butir sekaligus tanpa bantuan air.

Setelahnya Ares hanya duduk bersandar di pinggir ranjang, menunggu obat yang diminumnya bereaksi. Semua yang Ares lakukan tidak luput dari perhatian Rius, bahkan pemuda itu sudah beberapa kali melihat Ares meminum obat yang dia sendiri tidak tau obat apa itu.

"Lo sakit bang? Kenapa lo minum obat gitu?" Rius bingung, namun pemuda itu buru-buru kembali ke kamarnya saat mendengar suara langkah kaki naik ke lantai dua.

"Harusnya kalau dia sakit, dia bilang kan?" Rius mengacak rambutnya sendiri saat kebingungan karena Ares.

"Ck gue kenapa sih? Gak mungkin gue peduli sama dia kan?" Rius memutuskan tidak akan lagi peduli dengan apapun yang dilakukan Ares.

Sedangkan di kamar Ares, sang pemilik kamar tengah berjuang mentralkan nafasnya yang memberat, ditambah mimisan yang dia alami sekarang.

"Ares capek bun." Ares bergumam setelah membersihkan mimisannya, obat yang diminumnya tadi seperti tidak bekerja.

"Hah...hah...hah..." Ares menekan dadanya waktu merasakan nafasnya semakin berat.

"S-sa-kit..." Ares meluruh, kakinya terlampau lemas untuk menahan berat tubuhnya.

"Bunda..." pandangan Ares memburam, sakit di kepalanya terasa semakin menjadi.

"Bun...da.."

Kedua mata Ares tertutup, rasa sakit membawa Ares masuk kealam bawah sadarnya. Tidak ada yang menyadari jika pemuda itu tergeletak di lantai kamar mandi yang dingin, Mega tentu saja tidak akan mengecek kedalam kamar Ares, sebagaimana dia mengecek ke kamar putra-putranya.

Antares terlihat seperti bintang yang di kucilkan, berada di atas langit dengan banyaknya bintang membuat Antares hanya di jadikan sebagai pelengkap.
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat pagi...
Up lagi deh...
Bonus buat minggu ini...
Double up mungkin?

Selamat membaca dan semoga suka ya...

See ya...

-Moon-

Constellation (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang