Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
“Aku nggak apa-apa.” Nathan menjawab sambil melihat jam dinding. “Kamu pulang aja, nanti anak-anak nyariin kamu. Udah jam sembilan juga. Kamu bawa mobil, kan? Soalnya aku nggak bisa anterin kamu pulang.”
Ya Tuhan, Lia yang mendengarnya malah kesal sendiri. Ia benci saat Nathan bersikap begini. Ia tidak suka saat Nathan menjaga jarak darinya dan menyembunyikan sakitnya. Sungguh, Lia ingin Nathan yang menyebalkan. Lia ingin Nathan yang pecicilan. Lia ingin Nathan yang apa-apa harus memanggil namanya.
Ya, Lia sadar sekarang bahwa Lia ingin Nathan yang kembali aktif di dekatnya. Bukan Nathan yang menyedihkan seperti ini.
Karena belum tahu mau menjawab apa, Lia malah menangis. Ia menunduk dan menangis sejadinya saat mendengar Nathan bilang begitu.
“Kamu kenapa malah nangis?” suara Nathan benar-benar lemah saat ini.
“Kamu yang bikin aku nangis.”
“Iya, maaf.”
Lia beranjak dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air putih. Bahkan saat membuka kulkas, ia hanya melihat ada air botol mineral dan beberapa kaleng minuman yang tersisa. Hal itu malah semakin membuatnya menangis. Dapur benar-benar bersih dan rapi. Seperti apa kata Jean dan Jian kemarin.
Ia kembali ke ruang tengah dan menyodorkan Nathan air putihnya, kemudian membantunya minum. Bagi Nathan, rasanya lega karena sejak tadi ia memang haus tapi belum bisa bergerak dengan leluasa sebab tubuhnya masih nyeri.
“Makasih,” gumamnya pelan.
“Katanya kamu disarankan rawat inap tapi nggak mau. Kenapa?”
“Nggak ada yang nungguin. Ibu udah nggak sesehat dulu, nanti takutnya rentan ketemu orang-orang yang sakit dan malah ikut sakit. Si kembar sekolah, nggak mungkin juga aku repotin. Aku juga nggak apa-apa. Jadi, pulang aja.”
Lia berdecak pelan, ia mengusap kasar air matanya. Tatapannya tertuju pada obat Nathan yang ada di atas meja. Sepertinya belum diminum.
“Kamu udah minum obatnya?”
Nathan menggeleng. “Makan aja belum, gimana mau minum obat. Aku minumnya nanti aja kalo udah bisa gerak dikit.”
Mengesalkan, Lia geram padanya. Menyedihkan pun, Lia tambah geram karena melihat bagaimana pasrahnya Nathan. Tapi dari sisi Nathan, ia pun bingung harus bersikap seperti apa karena kehadiran Lia yang tiba-tiba begini. Tujuannya apa, maksudnya apa. Apakah Lia datang karena rasa peduli diiringi rasa sayang yang masih tersisa. Atau hanya rasa simpati karena ia terlihat menyedihkan.
“Ayo ke kamar, aku bantu. Istirahat di kamar aja supaya punggung kamu nggak tambah sakit,” ujar Lia pelan seraya beranjak dan bersiap membantu Nathan untuk berdiri. Laki-laki itu hendak menimpali tapi Lia menatapnya dengan tajam. “Jangan membantah, please. Kamu udah bikin aku khawatir, bikin aku nangis, bikin aku panik. Sekarang turutin aja apa yang aku bilang dan jangan membantah. Bisa?”
Nathan mengangguk, ia meraih uluran tangan Lia. Seketika, nyeri menjalari tubuhnya lagi. Ia sempat terdiam sejenak setelah berdiri. Tapi, ia tidak bisa berdiri dengan sempurna.
“Tahan bentar..” Lia mulai melangkah dan Nathan mengikutinya dengan pelan.
Sepanjang jalan menuju kamar, Nathan tak henti-hentinya meringis. Bahkan sesekali berhenti dan bersandar pada tembok. Kaitan tangannya pada bahu Lia terasa kuat dan Lia merasakanannya.
“Sakit banget, ya?”
“Hm..”
“Ya udah, pelan-pelan. Dikit lagi sampai.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BE MINE, again? [JAELIA✔️]
Fanfiction[Sequel Dandelion] "Anggap aja Ayah deketin cewek lagi dan berjuang dari awal. Kan, dulu kalian nikah karena dijodohin. Jadi, nggak mengenal istilah pendekatan dan perjuangan buat dapetin mama. Sekarang, coba deh berjuang lagi buat dapetin mama. Sia...