Jangan lupa vote atau komen ya temen-temen, terima kasih:)
*
“Suntuk banget. Ada masalah?”
Suara Jevin membuyarkan lamunan Nathan. Saat ini, ia sedang termenung di depan jendela ruangannya. Sejak semalam, pikirannya tidak bisa tenang karena memikirkan hari esok yaitu hari ini. Hari di mana Lia akan memberikannya sebuah jawaban yang sudah lama ia nanti. Bahkan semalam suntuk, ia tidak bisa terlelap dengan tenang.
Nathan berusaha mendoktrin dirinya bahwa apapun keputusan Lia nantinya, ia harus baik-baik saja. Ia berusaha menanamkan pada kepalanya bahwa penolakan bukanlah akhir dari segalanya. Dan ia berusaha menguatkan dirinya sendiri, terlepas apakah nanti Lia mau kembali bersamanya atau tidak.
Jika memikirkan bagaimana Lia mencercanya dengan berbagai macam kalimat menyakitkan semalam, ia jadi pasrah. Pasrah akan sebuah penolakan nantinya. Tapi, satu sisi dirinya masih sangat mengharapkan belas kasihan perempuan itu supaya menerimanya kembali. Sungguh, Nathan benar-benar pusing memikirkan hal itu.
“Jev, kalo misalnya nanti Lia nolak gue lagi. Tolong yakinin gue kalo semuanya akan baik-baik aja setelahnya. Tolong kasih gue kalimat menenangkan supaya gue nggak gila.”
“Lo ngajak Lia rujuk?”
“Iya, semalem pergi dinner buat rayain ulang tahunnya dan gue langsung ngomong serius sama dia. Gue ngajak Lia rujuk.”
Jevin menepuk pelan pundak Nathan. “Nat, kalo Lia nolak. Dunia nggak akan berakhir. Maksud gue, jangan ngelakuin hal-hal aneh yang akan nyakitin diri lo sendiri. Hidup lo bakal terus berlanjut walaupun tanpa Lia lagi. Pikirin si kembar cuy, lo masih harus kerja buat kasih mereka duit. Biar bagaimana pun juga, mereka masih tanggung jawab lo sebagai ayahnya.”
“Iya, gue tahu, Jev. Tapi, gue nggak sanggup lagi kalo harus hidup tanpa Lia. Lo saksi hidup, gimana menderitanya gue tinggal seorang diri di rumah segede itu. Tiap hari ngelakuin semua hal sendiri. Dan itu udah berlangsung selama dua tahun, cuy. Dua tahun.” Nathan tertawa sumbang. Menertawakan kisah hidupnya yang menyedihkan.
“Baru dua tahun aja ngeluh. Gimana Lia yang menderita selama lima belas tahun?”
Skak mat, Nathan langsung tertunduk lesu. Ucapan Jevin benar-benar membuatnya tertohok sampai hatinya terasa ngilu. Benar, ia terlalu cepat mengeluh. Ia terlalu mendramatisir hidupnya padahal hanya dua tahun. Bagaimana dengan Lia yang merasakan sakitnya hidup selama lima belas tahun.
Lia menahannya seorang diri selama lima belas tahun. Selalu menampilkan wajah malaikatnya di saat dirinya diperlakukan tidak adil oleh Nathan. Tidak pernah mengeluh apapun yang terjadi. Tulus melakukan tugas dan kewajibannya sebagai seorang istri walaupun tahu bagaimana kelakuan suaminya. Hingga ia rela pergi demi kebahagiaan yang diinginkan Nathan. Lia rela mengalah untuk bahagia yang diingkan oleh Nathan.
“Iya, Jev. Harusnya gue nggak ngeluh, ya. Harusnya gue bersyukur masih dikasih hidup sama Tuhan walaupun kelakuan gue udah kayak setan.” Nathan akhirnya mengembuskan napas pelan setelah lama berpikir. “Iya, apapun keputusan Lia nantinya, akan gue terima dengan lapang dada. Apapun. Kalo dia mau balik, gue bersyukur. Tapi kalo tetep nggak mau, gue nggak apa-apa. Saat itu juga gue nggak akan muncul di hadapannya lagi. Gue nggak akan gangguin dia lagi. Gue nggak akan ngelakuin hal-hal yang bikin dia risih. Gue akan ngilang dari hidupnya.”
“Nat, lo udah nunjukin gimana usaha lo buat Lia selama dua tahun terakhir ini. Dan gue rasa, itu udah cukup. Kalo emang Lia tetep nggak mau balik, ya udah biarin. Mungkin Lia punya alasan sendiri kenapa dia nggak mau balik. Atau mungkin sekarang Lia lebih bahagia hidup sendiri tanpa butuh laki-laki lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
BE MINE, again? [JAELIA✔️]
Fanfiction[Sequel Dandelion] "Anggap aja Ayah deketin cewek lagi dan berjuang dari awal. Kan, dulu kalian nikah karena dijodohin. Jadi, nggak mengenal istilah pendekatan dan perjuangan buat dapetin mama. Sekarang, coba deh berjuang lagi buat dapetin mama. Sia...