25: aku yang terdesak

46 21 3
                                    

[Selamat Membaca]


Behind the story:

Setelah bertemu Wendy dan Seulgi di kafe, kini Inseong segera pulang untuk menemui ibunya. Kabarnya beliau sudah siuman dan mencari-cari Inseong.

Butuh 40 menit untuk bisa sampai di rumah, ia langsung disambut oleh sepupunya, Lee Jaeyoon. "Hyung, sepertinya kondisi bibi mulai membaik.. Tapi aku juga nggak yakin kalau beneran membaik, karena wajahnya masih pucat, sama seperti kemarin."

Jaeyoon memberitakan kabar terkini kondisi Ibu Inseong, dia khawatir jika Inseong akan terpuruk setelah melihat wajah ibunya yang kondisinya masih sama saja, tetap pucat dan tak ada perubahan. Inseong pun juga tidak bisa langsung percaya jika ibunya memang benar-benar membaik.

Rumah Inseong yang besar itu tidak serta-merta bisa membawanya langsung menemui ibunda tercinta, dia harus menaiki tangga berputar itu dahulu, lalu belok ke kiri, lurus sedikit, dan pintu berwarna putih itulah kamar ibunya di rawat. Kamar tersebut Inseong buatkan khusus untuk ibunya agar tidak perlu ke rumah sakit.

Begitu Inseong membuka pintu, dia bisa menemukan ibunya sedang terbaring lemah di atas kasur dan menatap keluar jendela dengan tatapan kosong.

Perlahan, Bona memutar sedikit kepalanya untuk mengetahui siapa yang masuk ke dalam kamarnya. Beliau tersenyum begitu tahu Inseong dan Jaeyoon yang masuk.

Inseong duduk dan tersenyum ke arah ibunya, dia tidak dapat menahan tangisnya lagi. Bagi Inseong, keadaan ini terlalu sulit untuk ia lalui.

Keadaan Bona yang makin melemah, Papanya yang semakin tidak peduli, perjodohan konyol ini, dan perusahaan yang sedang dalam kondisi genting. Apa lagi yang bisa dia lakukan selain menangis didepan ibunya? Selama ini menahan kesulitan tanpa ada tempat berbagi adalah hal terberat yang pernah Inseong alami.

Belum pernah dirinya merasa seputus asa ini, Bona mengelus rambut hitam legam milik anaknya. "Apa rambutmu memang sehalus sutra, Nak? Sudah lama mama tidak melihat kamu menangis," ucap Bona dengan suara seraknya.

Inseong menangkat kepalanya yang terasa pening, "maaf karena aku harus menangis di hadapan mama, padahal aku sudah besar."

"Tidak masalah, orang dewasa pun juga boleh menangis. Mama tidak melarang kamu berkeluh kesah, malahan mama merasa bersyukur karena kamu masih menganggap mama ada."

Ya, hanya Inseong satu-satunya orang yang masih menganggap Bona hidup. Tidak seperti papanya yang kini tak tahu ada dimana, berkelana untuk memperkaya diri, dan mencari kesenangan sementara istri sahnya sedang mati-matian melawan penyakitnya.

"Sial, kalau aku bisa bertemu papa sekarang sudah pasti aku akan menghajarnya sampai beliau tahu betapa sakitnya aku," ujar Inseong geram. "Papa juga harus merasakan ini, enak aja hidup seneng-seneng pake uang kotor itu, cih," Inseong tak sudi bertemu dengan papanya itu.

Bona menanggapi. "Sepertinya kamu jangan terlalu marah dengan papamu, karena bagaimana pun beliau yang mengurus segala kebutuhan mama. Kamu harus berterima kasih sama papa karena sudah memberikan kamu kehidupan yang layak seperti ini." 

"Mama mau diurus pake uang kotor dia? Kayaknya sekarang tanggung jawab mama bisa aku yang tanganin, sekarang mama nggak perlu lagi terima uang dari papa. Cukup jadikan aku aja sebagai tempat mama bergantung, aku nggak ingin mama tersakiti karena papa."

Bona meraih tangan Inseong lembut, "jangan seperti itu. Dia itu papamu dan tetap harus kamu hormati, sekesal apapun, semarah apapun kamu, harus menghargai dan menghormati papa sebagai orang tuamu."

𝐧𝐨𝐭 𝐭𝐡𝐚𝐭 𝐞𝐚𝐬𝐲 - 𝐭𝐚𝐞𝐢𝐥 𝐱 𝐰𝐞𝐧𝐝𝐲 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang