Sepanjang perjalanan pulang tidak ada yang membuka suara. Tama bahkan tidak bertanya lebih lanjut tentang Juna yang membawa seorang wanita bersama pria itu di pusat perbelanjaan tadi. Mengingat bagaimana perlakuan Juna pada wanita tadi seharusnya Tama mulai mencerca pertanyaan pada Nana.
Akan tetapi yang pria itu lakukan hanya diam. Tidak ingin mengeluarkan perkataan yang semakin membuat Nana mengingat kembali apa yang tadi dilihat wanita itu. Meskipun Tama yakin, kini wanita itu masih memikirkan Juna.
"Mau beli itu gak?" Nana tersadar setelah Tama melemparkan pertanyaan pada wanita itu. Nana bahkan mengerjap beberapa kali untuk mengerti maksud perkataan Tama.
"Itu, mau beli?" Salah satu tangan Tama menunjuk pada salah seorang pedagang kaki lima yang menjual permen kapas di pinggir jalan.
"Permen kapas." Gumam Nana namun masih jelas didengar oleh Tama.
"Iya, mau gak? Enak lho." Nana belum sempat menolak tawaran Tama namun pria itu sudah lebih dulu turun dari mobil dan menghampiri pedagang kaki lima tersebut.
Tidak beberapa lama pria itu kembali dengan membawa permen kapas di salah satu tangannya. Bahkan Tama melemparkan senyum ketika berjalan kembali ke mobil.
"Ini, cobain." Nana mengangguk dengan ragu. Wanita itu tidak pernah memakan permen dengan bentuk seperti ini sebelumnya. Bahkan tau namanya saja Nana baru tau saat tadi membaca gerobak pedagang yang menjual jajan tersebut.
Hidup bersama mendiang kedua orang tuanya membuat Nana tidak pernah melakukan aktivitas sebagaimana anak pada umumnya. Wanita itu hanya menghabiskan waktu di dalam rumah. Nana sempat berpikir kalau menikah akan membuatnya merasakan keindahan dunia luar, namun ternyata sama saja. Bersama Juna wanita itu merasa terkurung.
Nana hanya rindu tinggal bersama sang Nenek. Wanita itu akan seperti burung yang lepas, mengepakkan kedua sayap dengan senang.
"Enak?" Nana diam, merasakan sesuatu yang lembut begitu permen kapas itu masuk ke dalam mulutnya. Rasa manis dan kelembutan dari permen tersebut membuat Nana menerbitkan kembali senyum manisnya.
"Enak! Lembut dan manis." Tama mendesah lega begitu mendengar nada suara Nana yang kembali ceria.
Tama rela melakukan apapun agar wanita itu bahagia.
***
Jantung dada berdetak dua kali lebih cepat dari detak normal. Kedua tangannya saling meremas. Nana harap apa yang dipikirkan olehnya tidak benar-benar terjadi.
Setengah jam lalu Bunda—Mama Juna menelfon menanyakan kabar Nana juga Juna. Nana pikir hanya sekedar percakapan biasa seperti selama ini terjadi antara dirinya dan Bunda. Namun Nana berharap cemas karena mendengar ajakan makan malam di rumah utama. Dan juga ingin membahas sesuatu dengan seluruh keluarga.
Nana takut, bagaimana kalau Tama memberitahu pada Bunda apa yang pria itu lihat pagi tadi saat di pusat perbelanjaan. Nana tidak ingin masalah yang selama ini disembunyikan dengan baik olehnya harus terbongkar malam ini.
Nana hanya tidak ingin Juna beranggapan kalau dirinya mengadu pada Bunda pria itu karena tidak tahan dengan perlakuan Juna selama ini. Apalagi pagi tadi Juna dengan terang-terangan mengatakan akan melangsungkan pernikahan dua bulan lagi setelah pria itu menyelesaikan proyek miliknya.
Nana tersentak kaget begitu mobil yang ditumpangi olehnya berhenti di halaman rumah yang berdiri gagah dan megah di hadapannya. Menarik nafas, Nana mulai berpikir positif untuk menghilangkan pikiran negatif juga kegugupan wanita itu.
"Ayo!" Nana mengangguk. Wanita itu tidak datang bersama Juna, melainkan Tama. Nana sempat ingin memberitahu hal ini pada Juna, namun Bunda lebih dulu mengatakan bahwa wanita itu sendirilah yang akan mengatakan pada Juna.
