Laura tersenyum. Melihat bagaimana wajah kesal Ravel, bocah tiga tahun yang sedang antusias bermain bongkar pasang yang seminggu lalu dibelikan oleh Laura.
"Ty, susah. Bantuin dong." Laura mengangguk. Mendekat pada Ravel yang sudah mulai bosan karena tidak menemukan apa yang dicari anak kecil tersebut.
"Mau tidur siang gak? Kalau Ravel tidur siang, sore kita bisa main di taman kompleks." Laura bertanya begitu menyelesaikan bongkar pasang Ravel.
"Tapi beneran kan? Soalnya Bunda juga suka gitu, tapi sorenya gak jadi main." Ravel mengerucut, membuat Laura menahan tawa karena gemas.
"Iya, Aunty gak bohong. Tidur yuk!" Ravel mengangguk.
Begitu selesai menyimpan kembali permainan yang berserakan di karpet pada tempat semula, Ravel menggandeng tangan Laura. Mengajak wanita itu menuju kamar yang sering ditempatinya jika sedang dititipkan di rumah Revin, Paman Ravel.
Mata Laura tidak lepas dari wajah damai Ravel yang sudah terlelap beberapa saat lalu. Perlahan salah satu tangan wanita itu turun pada permukaan perutnya. Mengelus perlahan di sana.
Usia pernikahan Laura dan Revin sudah menginjak setahun. Kadang Laura suka iri dengan Lily, Kakak Revin, Bunda dari Ravel. Di bulan ketiga pernikahan, Lily sudah dikarunia Ravel. Sedangkan Laura, usia pernikahan sudah terbilang lama namun belum diberikan momongan.
Laura mengusap pipinya. Mengingat momongan membuat perasaan Laura tidak stabil. Sejenak Laura memandang wajah Ravel yang sangat duplikat Lily, berandai jika saat ini yang berada di pelukan wanita itu adalah buah hatinya sendiri. Anak Laura dan Revin.
"Selamat tidur, boy." Laura mengecup dahi Ravel sebelum turun dari ranjang. Berlama-lama di sana membuat Laura akan semakin merasa sedih. Laura memutuskan menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Mengingat Revin akan pulang siang ini untuk mengambil beberapa berkas yang berada di rumah.
Laura mengembangkan senyum begitu mendapati beberapa sisa potong ayam mentah yang belum di olah di dalam lemari pendingin. Laura ingat kalau Revin menyukai ayam kecap, jadilah wanita itu memutuskan untuk memasak ayam kecap untuk menu makan siang.
Selesai dengan pekerjaan dapur, Laura kembali ke kamar Ravel. Bocah tiga tahun itu akan terbangun jika merasa tidak ada orang lain disisinya saat tidur.
Bunyi deru mobil membuat Laura langsung beranjak menyambut kedatangan Revin. Setelah memastikan Ravel tidak akan bangun barulah Laura beranjak dengan pelan tanpa menimbulkan suara.
"Ravel mana?" Laura tersenyum. Mengambil salah satu tangan Revin untuk dicium.
"Tidur." Revin hanya mengangguk kemudian berjalan menuju ruang kerja yang berada di lantai dua.
Langkah tegap pria itu tidak luput dari pandangan Laura. Revin merupakan pria idaman semua wanita. Memiliki tubuh tinggi tegap yang digilai semua wanita. Juga wajah tampan yang diwariskan oleh Ayah pria itu merupakan daya tarik sekaligus nilai plus.
"Aku buatin ayam–" Begitu Revin turun dari lantai dua, Laura langsung mendekat.
"Saya makan siang di luar." Laura hanya bisa mengangguk begitu mendengar ucapannya dipotong oleh Revin.
"Em, gimana kalau–" Laura kembali bersuara namun lagi-lagi harus kecewa dengan ucapan yang terlontar dari mulut Revin.
"Saya sibuk." Tanpa memedulikan Laura, Revin langsung keluar rumah setelah mengambil berkas yang dibutuhkan pria itu.
Laura buru-buru mengikut di belakang Revin. Mengikuti sampai pria itu masuk ke mobil.
"Apa?" Tanya Revin melihat Laura yang berdiri tepat di samping pintu kemudi.
"Makan malamnya–"
"Saya lembur. Kamu bisa ke rumah Lily, atau suruh aja Lily nginap di sini saat saya lembur." Lagi-lagi Laura hanya bisa mengangguk. Mematuhi semua yang dikatakan Revin.
Begitu mobil hitam yang dikendarai Revin menghilang dari halaman rumah, Laura mengerjapkan mata.
Laura pikir dunia pernikahan menyenangkan. Berbagi pendapat juga pikiran pada pasangan. Nyatanya satu tahun ini yang Laura jalani hanya monoton. Tidak ada perbedaan saat dirinya masih tinggal sendiri. Semuanya tetap sama.
Laura pikir menikah dengan Revin akan membawa perubahan pada hidup wanita itu. Yang dulunya hanya tinggal sendirian tanpa tau siapa orang tua wanita itu. Nyatanya semua hanya pikiran wanita itu.
Laura bergegas masuk kembali ke rumah. Kembali ke kamar Ravel, mungkin dengan melihat wajah Ravel akan membuat Laura kembali bahagia.
***
Laura tersentak begitu merasa dingin pada ujung hidung wanita itu. Mengerjap, Laura menatap bingung pada Lily juga Ravel yang kini berada di depan wanita itu.
"Bengong." Tegur Lily. Laura hanya menyengir. Mengelap es krim yang dioleskan Ravel pada ujung hidungnya.
"Gak kerja?" Lily menggeleng. Mengambil duduk di depan Laura.
"Ini minggu, Ra." Laura meringis. Sebulan ini dirinya menjadi uring-uringan juga pikun mendadak sejak Revin pergi ke luar negeri mengurus pekerjaan.
"Maaf." Lily mengibas tangan. Mengeluarkan botol minum Ravel dari dalam tas berisi keperluan anak itu.
"Bisa titip Ravel kan? Aku ada janji sama teman aku." Laura langsung mengangguk.
"Bisa kok. Ravel gak apa kan sama Aunty?" Laura beralih pada Ravel yang sedang meneguk air putih.
"Malah Ravel suka lho, Ty. Aunty gak garang kayak Bunda. Berisik!" Lily mendelik, Laura hanya bisa terkekeh.
"Aku pergi dulu ya. Ingat pesan Bunda, jangan nyusahin Aunty Lau." Ravel mengangguk sembari memberikan jempol pada Lily.
"Ravel udah makan belum?" Laura bertanya begitu mendapati Ravel yang mulai membongkar isi tasnya.
"Udah. Tadi sebelum kesini Bunda masak udang."
"Mau makan cake gak? Aunty ada resep baru. Ravel suka coklat kan?" Bocah tiga tahun tersebut mengangguk dengan antusias.
"Mau! Mau! Tapi jangan bilang Bunda ya, Ty. Soalnya kemarin Ravel udah makan coklat yang Ayah beli."
"Eh. Kalau gitu jangan dong. Cakenya Aunty ganti sama kue kering aja gimana? Tapi rasa coklat juga. Masih mau gak?"
"Mau! Mau! Yang bentuknya kayak waktu itu gak, Ty?"
"Ada, ayo!"
