Nala semakin menangis melihat bagaimana perlakuan Naka yang begitu lembut mengobati luka di tubuh wanita itu. Putra benar-benar brengsek, memperlakukan Nala dengan kejam tanpa memperdulikan jika Nala adalah seorang wanita dan juga istrinya.
Malam itu, Putra menghajar Nala habis-habisan. Beruntung tidak beberapa lama Naka tiba-tiba datang, menghentikkan aksi kejam Putra pada Nala.
Perkelahian terjadi antara Naka dan Putra. Putra yang tidak terima dengan Naka yang membela dan memasang badan untuk Nala, menghajar Naka. Naka pun tidak tinggal diam, membalas Putra karena membenci pria itu yang sudah dengan entengnya main tangan pada Nala.
Aksi keduanya terhenti karena kedatangan Ibu Putra. Dan berakhirlah Nala yang berada di apartemen Naka. Ibu Putra sudah mengetahui masalah rumah tangga Putra dan Nala. Malam itu juga, Putra dengan terpaksa menanda tangani surat perceraian yang Naka bawa.
"Sakit?" Naka bertanya, tangis Nala tidak berhenti sejak tadi. Bahkan rasanya Naka sudah sangat hati-hati mengobati luka wanita itu, tapi tetap saja Nala masih menangis.
"Maaf." Nala menggeleng. Air matanya semakin deras mengalir. Naka tidak seharusnya berucap demikian. Nala yang harusnya meminta maaf pada pria itu. Karena Nala, wajah pria itu juga menjadi korban atas masalah rumah tangganya dengan Putra.
"Gak, aku yang harusnya minta maaf. Maaf... Maaf..." Dengan sesenggukan Nala berucap. Menggenggam tangan Naka yang akan kembali mengobati lukanya.
"Hei! Gak apa. Kamu gak salah. Jangan nangis, okay?!" Dengan lembut tangan Naka mengusap puncak kepala Nala. Berharap tangis wanita itu akan reda.
Dan berhasil. Nala tidak lagi menangis, namun masih sesenggukan.
"Sudah lebih baik?" Setelah beberapa saat hening, Naka bertanya. Nala mengangguk, dengan mata basahnya menatap Naka.
"Terima kasih." Tanpa menjawab, Naka hanya tersenyum. Menarik tangan Nala untuk berdiri.
"Lapar gak? Tadi kayaknya kita belum makan kan? Mau makan apa?"
"Aku..."
"Ayam kecap mau?" Naka bertanya seraya mengeluarkan ayam beserta bahan-bahan untuk memasak dari kulkas. Nala hanya diam, menatap pria itu yang sibuk di meja pantry.
"Naka, kenapa kamu baik sama aku?" Pertanyaan Nala bersamaan dengan Naka yang menyajikan masakannya di atas meja.
Pria itu diam, mengambil duduk di samping Nala, menyendokkan nasi juga ayam kecap masakannya untuk Nala.
"Makan, Nala."
"Kenapa?"
Dan pertanyaan itu hanya sebuah pertanyaan, karena sampai mereka selesai makan pun, Naka tidak menjawabnya.
***
Satu tahun kemudian...
Pria itu tersenyum. Pemandangan di hadapannya adalah pemandangan yang sudah lama sangat dinanti olehnya. Akhirnya setelah perjuangan panjang, Naka berada di titik ini.
Naka tau, sampai di titik ini tidaklah mudah, karena itu Naka selalu bersyukur setiap kali memandang wajah teduh yang kini menatap Naka dengan heran.
"Kenapa?" Wanita iu bertanya dengan tatapan heran pada Naka yang masih terus tersenyum.
"Kenapa sih, Mas?"
