Ex-Boyfriend

26.9K 510 9
                                    

𝙱𝚞𝚊𝚝 𝚔𝚊𝚖𝚞, 𝚝𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚢𝚊! 𝚄𝚍𝚊𝚑 𝚕𝚞𝚊𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚠𝚊𝚔𝚝𝚞 𝚋𝚞𝚊𝚝 𝙹𝚊𝚗𝚎 𝚍𝚊𝚗 𝙼𝚒𝚌𝚑𝚊𝚎𝚕 𝚍𝚒 𝚕𝚊𝚙𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚋𝚎𝚕𝚊𝚑

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝙱𝚞𝚊𝚝 𝚔𝚊𝚖𝚞, 𝚝𝚎𝚛𝚒𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚢𝚊! 𝚄𝚍𝚊𝚑 𝚕𝚞𝚊𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚠𝚊𝚔𝚝𝚞 𝚋𝚞𝚊𝚝 𝙹𝚊𝚗𝚎 𝚍𝚊𝚗 𝙼𝚒𝚌𝚑𝚊𝚎𝚕 𝚍𝚒 𝚕𝚊𝚙𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚋𝚎𝚕𝚊𝚑. 𝚂𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚜𝚎𝚖𝚊𝚔𝚒𝚗 𝚋𝚊𝚗𝚢𝚊𝚔 𝚛𝚎𝚣𝚎𝚔𝚒𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚜𝚞𝚔𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚝𝚊𝚖𝚋𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝙹𝚊𝚗𝚎-𝙼𝚒𝚌𝚑𝚊𝚎𝚕 (^з^)-☆Chu!!







°ʜᴀᴘᴘʏ ʀᴇᴀᴅɪɴɢ°






Ana menatap menyedihkan pemandangan di hadapan wanita itu. Kira-kira sekitar tiga meter dari tempat Ana berdiri, wanita itu menyaksikan pemandangan yang menurut Ana sangat tidak enak untuk di pandang oleh mata.

Sepasang pasangan sedang bermesraan di sana. Saling memeluk begitu bertemu setelah menghabiskan waktu untuk bekerja. Ana juga sama lelahnya. Setelah seharian bekerja, mendapat amukan dari atasan, dan merasa penuh kesialan karena tidak mendapat makanan siang di warung langganannya.

Ana juga ingin merasakan secuil kebahagiaan. Seperti pemandangan di hadapan wanita itu. Merasa kembali semangat karena melihat kekasih yang begitu dicintai sedang menunggu untuk menjemput. Memberikan pelukan kehangatan, menanyakan bagaimana kegiatan hari ini.

Ana iri. Setiap hari setelah lelahnya dengan pekerjaan, Ana harus dihadapkan dengan pemandangan yang paling wanita itu benci.

Bukan tidak ingin mencari satu seperti itu, namun selalu saja gagal. Entah apa yang salah, namun setiap kali Ana memiliki kekasih, pasti tidak akan berakhir lebih dari sebulan.

"Hhh...." Hembusan nafas kasarnya terdengar. Kepala wanita itu mendongkak, menatap langit yang sebentar lagi akan menumpahkan air hujan.

Ana tersenyum mengejek. Mengejek diri wanita itu. Semuanya sempurna, karir bagus, ekonomi cukup, hanya satu yang kurang. Pasangan. Pelengkap untuk Ana belum ada.

Wanita itu menatap sekitar, sangat jelas bahwa bukan di sana tempat Ana berada. Hanya wanita itu yang sendirian, tidak memiliki pasangan di sana.

Ana tidak ingin semakin meratapi nasib percintaannya, wanita itu bergegas menuju halaman parkir, mencari mobil miliknya di jejeran banyaknya mobil yang terparkir.

***

Ana paling membenci dua hal. Pertama keramaian, karena pasti wanitu itu akan semakin memikirkan pasangan hidup. Di keramaian, semuanya pasti membawa pasangan.

Yang kedua adalah pesta. Pesta adalah satu dari dua hal yang paling Ana benci. Pesta, seakan menyadarkan Ana, bahwa wanita itu masih tetap sendiri di usia yang hampir menginjak kepala tiga. Yang menyatakan tempat seharusnya Ana berada bukan di sana.

Seperti kini. Padahal sudah menolak berulang kali, namun entah kenapa Ana bisa menginjakkan kaki di sini, di salah satu pesta perayaan rekan sesama kantor.

Niat hati Ana ingin segera pulang setelah memberikan selamat pada sang empu acara, namun urung karena merasa kurang sopan. Setidaknya Ana memutuskan untuk 10-15 menit kedepan untuk mencoba menempatkan diri di sana, di keramaian dan banyaknya yang membawa gandengan.

Ana menahan kesal karena merasakan senggolan pada bahu wanita itu. Dengan wajah datar, Ana menatap sosok pria yang berdiri di sampingnya, sedang menatap ke depan, di mana sang empu acara sedang heboh-hebohnya.

Merasa kesal, Ana sedikit menyingkir, tidak ingin kembali merasakan hal sama pada bahu wanita itu. Tangan wanita itu mengangkat gelas yang sejak tadi berada di sana, ingin menyesap salah satu dari banyaknya minuman yang tersaji yang Ana pilih.

Namun sialnya gelas itu bergoyang, menumpahkan isinya. Ana melongo, menatap tidak percaya kejadian barusan. Secepat kilat wanita itu menatap sang pelaku yang merupakan sosok pria di samping Ana.

"Maaf." Permintaan maaf itu tidak Ana pedulikan. Dengan marah Ana meletakkan gelasnya di atas meja, pergi dari sana.

"Brengsek!" Umpat Ana di tengah hentakan langkah kaki kesalnya.

***

Lagi dan lagi, Ana harus menulikan telinga mendengar amukan sang atasan. Padahal hari masih sangat pagi, tapi Ana harus menelan semua lontarakan kasar dari sang atasan.

Begitu selesai memberikan asupan pagi pada Ana dan beberapa karyawan lain, sang atasan meninggalkan ruangan, membuat helaan nafas lega terdengar.

Ana memilih kembali ke meja kerjanya, tidak berniat bergabung dengan gerombolan karyawan lain untuk menggosipkan sang atasan.

Dahi wanita itu mengernyit. Menatap sebuah pesan pada layar ponselnya yang menyala di atas meja kerja.

Ana membukanya. Menatap nomor asing yang mengirimnya pesan. Karena tidak mengenal dan mengira salah alamat, Ana membiarkan begitu saja.

Di tengah pekerjaannya, Ana merasa tergangggu dengan getaran ponselnya. Ana tidak pernah mendapatkan pesan bertubi seperti kini di jam kantor. Kalaupun ada, tidak akan lebih lama dari ini, itupun pasti dari grup kantor.

Karena tidak ingin pekerjaannya terganggu, Ana memilih mematikan ponsel wanita itu. Kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan.

Jam pulang kantor sudah berlalu sejak satu jam lalu. Namun Ana memilih berlama-lama di meja kerjanya untuk tidak berada di satu tempat yang sama dengan beberapa orang yang menayangkan adegan mesra di depan Ana.

Ana menjatuhkan kepala wanita itu pada lipatan tangannya di meja. Menghela nafas kasar karena lagi dan lagi pemikiran itu terbesit di kepala Ana.

Pasangan.

Ana selalu iri dan membandingkan diri. Usianya sudah cukup untuk memiliki kekasih agar bisa menceritakan lelahnya hari yang dilalui Ana. Ana ingin memiliki teman cerita, yang mendengarkan dengan baik atau juga memberikan masukan pada Ana nantinya.

Ana ingin memiliki seseorang yang memberikan pelukan hangat yang sangat Ana butuhkan. Jauh dari keluarga menjadikan Ana wanita mandiri dan berusaha kuat dalam keadaan apapun.

Ana juga manusia seperti yang lain. Yang bisa lelah dan mengeluh. Namun Ana tidak memiliki rumah untuk menumpahkan semua itu.

"Capek...." Gumam Ana dengan berbisik. Bahkan kedua matanya sudah berkaca-kaca.

Wanita itu kemudian tersentak, merasakan dingin pada punggung tangannya. Ana mendongkak, menatap sosok yang menjulang tinggi berdiri di samping meja kerja wanita itu.

"K-kamu?!"

𝐒𝐡𝐨𝐫𝐭 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 ( 𝗘𝗻𝗱)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang