Alena

8.6K 304 18
                                    

Ternyata, gak semua cerita harus berakhir happy ending dan sesuai dengan keinginan kita. Gue membenarkannya.

Gue pikir, setelah gue menikah dengan orang yang selama beberapa tahun gue kagumi, menjadi penyemangat untuk gue bangkit, mempunyai akhir yang sama seperti beberapa cerita dari teman-teman yang gue dengar.

Nyatanya, salah. Salah besar. Harapan untuk ekspetasi gue harus dipatahkan dengan kesalahan dari diri gue itu sendiri. Gue, titik masalah yang sebenarnya. Akar dari penyebab apa yang gue rasakan selama setahun ini.

Setahun, selama waktu dua belas bulan, gue sudah menjerat Mas Haris dalam pernikahan yang benar-benar tidak diinginkan pria itu. Pernikahan yang menjadi sebuah kesalahan besar, membuat semuanya berubah dalam seketika.

Gue selalu mencoba memberikan yang terbaik untuk Mas Haris, namun, selama apapun usaha yang gue berikan untuk membuat pria itu luluh, nyatanya tidak sama sekali mengikis dendam di dalam hatinya. Pria itu sudah terlalu membenci gue. Amat sangat.

Gue pernah berpikir untuk menyerah, namun, lagi dan lagi. Gue terlalu berekspetasi terlalu tinggi, berharap suatu saat Mas Haris akan membuka hati dan melihat gue sebagai istrinya. Namun yang ada, tetap sama. Semuanya tetap sama seperti malam setelah gue dan Mas Haris resmi menjadi sepasang suami-istri.

Dan semuanya semakin lengkap ketika tiga bulan lalu gue mendengar kabar bahwa wanita yang menjadi pujaan hati Mas Haris, sudah bercerai dengan suaminya. Lengkap sudah penderitaan gue.

Setelah tau Anis sudah bercerai, Mas Haris semakin aktif mendekati wanita itu. Bahkan sampai mengajaknya berlibur, berdua.

Gue yang memiliki predikat istri sah, tidak pernah sekalipun mendapat ajakan untuk berlibur, bahkan jika itu ada inisiatif dari keluarga, tidak pernah sekalipun Mas Haris mengajak gue.

Lucunya, gue selalu bertahan. Mencoba berpikir dengan otak bodoh gue, kalau suatu saat nanti, gue yang akan menjadi nomor satu di hati Mas Haris. Menjadi istri yang benar-benar beruntung dapat dicintai dan dimiliki pria itu.

Capek. Gue udah terlalu capek dengan semua drama ini. Berusaha terlihat kuat di mata semua orang, nyatanya gue gak baik-baik aja.

Gue mendesah. Menatap kalender yang di tampilkan di layar ponsel gue. Dua hari lagi, dua hari lagi gue akan merayakan hari bahagia gue. Umur gue akan bertambah dua hari lagi. Namun, Mas Haris belum juga kembali ke rumah sejak tiga hari lalu.

Gue tau, amat sangat, di mana pria itu berada. Namun, gue selalu menyangkal untuk tidak membuat gue semakin sedih. Gue, capek harus nangis terus-menerus memikirkan Mas Haris.

Gue terkekeh hambar. Menertawakan diri gue yang sangat bodoh. Menatap pada piring berisikan masakan yang entah keberapa kalinya masih sama, masih tidak tersentuh oleh Mas Haris.

Sekuat apapun gue mencoba, nyatanya yang menjadi pemenang bukan gue. Gue selalu menjadi yang kesekian atau bahkan tidak sekalipun.

Gue rela belajar masak, membuat tangan gue memiliki beberapa tanda, untuk mendapat hasil yang cukup soal rasa, namun tetap sama. Semuanya berakhir sia-sia.

"Bi?"

"Ya?" Gue mendongkak, menatap Bi Asih yang memang sejak tadi sudah berdiri di balik pembatas dapur dan ruang keluarga. Diam-diam wanita itu memperhatikan gue.

"Makanannya... tolong di bagi ya. Seperti biasa." Tanpa kata, Bi Asih mengangguk. Membereskan beberapa hidangan yang gue masak, membawanya ke luar dari pintu samping dapur.

Seperti biasa, semua makanan buatan gue, akan dibagikan pada satpam dan tukang kebun.

***

Gue tersenyum kecut begitu melihat adegan romantis secara cuma-cuma di hadapan gue. Zaven, Kakak pertama gue sedang melepas rindu dengan Nera, istri mungilnya.

Sangat romantis sekali. Sedangkan gue, hanya bisa berharap dengan tidak adanya kepastian. Gue sudah berada di titik yang gue sendiri gak tau harus apa.

Di satu sisi gue ingin mengakhiri semua ini. Tapi di sisi lain, gue masih ingin mencoba untuk hasil yang selama ini gue inginkan.

"Hei!" Gue tersentak. Zaven baru saja menepuk puncak kepala gue.

"Ih, apasih?"

"Haris, mana?"

"Mas Haris kan lagi diluar kota. Masih ada kerjaan di sana." Gue mendengus. Mendelik pada Zaven yang tersenyum mendengar ucapan gue.

"Wanna hug me?" Gue langsung menerbitkan senyum gue. Menarik tubuh Zaven untuk merasakan sebuah kehangatan yang sudah lama tidak gue rasakan sejak menikah.

"I love you."

"Me too."

Gue yakin. Apapun pilihan untuk hubungan gue bersama Mas Haris kedepannya, selagi gue masih memiliki orang yang gue sayang dan mencintai gue, gue yakin, gue bakal baik-baik saja.












Happy birthday for me!

Untuk kalian, Terima kasih banyak sudah mau menyempatkan waktu untuk membaca lapak ini.

Luv kalian ♡

𝐒𝐡𝐨𝐫𝐭 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲 ( 𝗘𝗻𝗱)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang