𝐈𝐯𝐚𝐧𝐝𝐞𝐫 ◇ 𝐍𝐚𝐮𝐫𝐚
»»----><----««
Ivander mendesis pelan membuat tangan Naura yang mengobati luka di sudut bibir pria itu berhenti. Dengan rasa bersalah Naura berucap,
"Maaf." Lirihnya. Menatap Ivander dengan takut. Sedangkan pria itu hanya bergumam tidak jelas lalu menggeleng.
"Gak apa. Obati aja." Naura masih takut, takut karena akan kembali menyakiti pria itu.
"Gak apa, Naura. Atau mau saya cium dulu baru kamu lanjut obati luka saya?" Gelagapan, Naura menggeleng. Mengambil cutton bud yang sudah diberikan alkohol, lalu kembali mengobati luka Ivander.
"Kenapa takut? Padahal kan sudah sah." Ivander mengejek, salah satu tangannya hinggap pada tangan Naura, mengelus buku tangan wanita itu.
"Mas Ivan..." Tegur Naura. Meskipun sudah menikah dengan Ivander, namun Naura masih belum terbiasa dengan godaan yang pria itu lakukan padanya.
"Kenapa?" Naura menggeleng. Pipinya berubah warna menjadi merah karena mendapati Ivander dengan terang-terangan menggodanya. Mengedipkan mata pada wanita itu.
"Lagian, Bibi gak ada. Gak apa kan manja-manja ke istri sendiri."
"Mas Ivander..."
"Yes, Mrs. Zegara." Ivander suka. Setiap kali pria itu menggoda Naura dengan perkataan atau sentuhan-sentuhan kecil, wanita itu akan tersipu malu. Padahal usia pernikahan mereka sudah enam bulan. Harusnya cukup untuk Naura mengetahui pribadi Ivander seperti apa.
"Sudah selesai." Naura yang sedang membereskan alat-alat yang digunakan untuk mengobati luka Ivander, berhenti saat mendengar ucapan pria itu,
"Belum, Naura." Kepala wanita itu bergerak, kembali menatap Ivander dengan kening yang berkerut, seakan bertanya-tanya.
"Sini." Tanpa banyak tanya, Naura kembali pada Ivander. Duduk saling berhadapan.
"Nah, ini baru selesai." Naura hanya bisa terdiam kaku. Ivander kembali mengerjai wanita itu. Pria itu dengan mudah memberikan kecupan pada bibir Naura.
"Terima kasih." Ucapnya dengan mengacak rambut Naura sebelum berlalu menuju kamar. Meninggalkan Naura yang masih harus mengatur debaran jantung yang tidak karuan karena ulah Ivander.
***
"Naura?" Naura mendongkak, menatap seorang pria bertubuh tinggi di sampingnya. Mengernyit, Naura mulai mengingat siapa pria tersebut.
"Naren?" Tebaknya yang langsung mendapat anggukan.
"Kamu sudah kembali?" Naren mengangguk. menatap pada punggung Naura sebelum kembali pada wanita itu.
"Sendiri?"
"Gak kok. Aku sama Mas Ivander." Kedua tangan Naura mengibas, mengisyaratkan kalau tebakan Naren salah.
"Ivander?" Beo Naren. Seakan tidak asing dengan nama itu.
"Suamiku." Raut wajah Naren langsung berubah. Tatapannya langsung tertuju pada tangan Naura, mencari cincin pernikahan di sana.
Ketemu, ternyata wanita itu sudah menikah.
"Di mana?" Merasa Naura belum mengerti arti pertanyaannya, Naren kembali melanjutkan,
"Suamimu. Katanya tadi berdua."
"Oh, di tempat buah. Kita mencar." Salah satu tangan Naura menunjuk dengan asal lalu kembali pada berbagai sayuran di hadapannya.
"Aku kok gak tau kalau kamu udah nikah? Kamu gak ngundang?" Troli yang Naura dorong, berhenti. mendongkak, menatap Naren di sampingnya.
"Lho, aku ngundang kok. Aku kirim pesan sama email juga ke kamu. Kamu kali yang gak cek. Sibuk banget ya di Italia?" Kali ini Naren yang mengernyit bingung. Pria itu langsung membuka ponselnya, mengecek email dan pesan yang dikirimkan Naura.
"Gak ada. Nih buktinya." Naura ikut memperhatikan ponsel yang Naren perlihatkan di hadapan wanita itu.
Benar saja, tidak ada pesan dan email yang Naura kirimkan ke pria itu beberapa hari sebelum Naura menikah dengan Ivander.
"Kok bisa? kamu ganti nomor dan email ya?" Naren berpikir sejenak, seingat pria itu tidak pernah mengganti apapun semenjak dirinya pindah ke Italia untuk mengurus pekerjaan sang Ayah di sana.
Yang menjadi pertanyaannya, kenapa pesan yang dikirimkan Naura tidak masuk ke ponsel Naren? Apa ada yang Naren tidak tau?
"Ah, ya. Aku lupa." Naura mendelik. Memukul pelan lengan Naren.
"Di sini berapa lama?" Naren yang sedang memilih daging, menoleh pada Naura di sampingnya. Menatap paras wanita itu yang terlihat lebih cantik di banding beberapa tahun lalu setelah pria itu memilih pergi ke Italia.
"Masih belum tau. Kenapa? Kangen?"
"Sayang..." Ivander datang dengan beberapa bawaan di tangan pria itu. Meletakkannya di troli lalu menarik pinggang Naura agar merapat padanya.
"Dia siapa?"
"Naren, teman sekaligus mantan Naura." Naura hanya bisa tersenyum kikuk pada Ivander. Merasakan pelukan Ivander semakin kuat pada pinggangnya.
"Ivander, suami Naura." Ivander tau setelah menekan tiap kata untuk memperjelas hubungannya dengan Naura, pria di hadapannya yang bernama Naren langsung terdiam karena kalah telak dengan statusnya.
"Kamu udah selesai?" Naura mengangguk. Mengecek kembali troli nya tanpa tau Naren dan Ivander saling beradu pandang dengan tatapan tajam.
Siap memulai perang.
"Udah. Mas masih ada yang mau di beli?" Ivander menggeleng. Mengecup puncak kepala Naura lalu menatap Naren.
"Maaf, kami permisi."
"Nanti aku chat ya!" Tanpa peduli dengan Ivander, Naren berkata demikian pada Naura. Membuat wanita itu mengangguk kikuk dengan perasaan tidak enak pada Ivander.
***
"Naren Ganendra." Naura menunduk. Menghentikan usapannya pada rambut Ivander. Pria itu sedang rebah di paha Naura.
"Hm?" Wanita itu bergumam. Tidak mengerti dengan maksud Ivander yang menyebut nama lengkap Naren.
"Itu, pria yang di mall tadi. Benar yang dia bilang?" Naura diam lalu sedetik kemudian mengangguk.
"Berapa lama kamu pacaran sama dia?"
"Em... Dua tahun." Naura memperhatikan raut wajah Ivander, tidak ada yang berubah, pria itu hanya mengangguk begitu mendengar jawaban Naura.
"Ngapain aja selama dua tahun?"
"Mas Ivan... Bisa kita bahas yang lain?" Naura memelas menatap Ivander. Tidak ingin membahas dirinya dengan Naren dulu.
"Kenapa? Senang pacaran sama dia?" Naura menggeleng. Menangkup wajah Ivander agar menatapnya.
"Gak usah bahas itu ya? Kan aku udah jadi istri Mas Ivan sekarang." Ivander mendengus. Menyembunyikan wajahnya pada perut Naura.
"Saya gak suka. Apalagi tadi jelas-jelas dia liat kamu kayak gitu. Saya kepengen mukul wajahnya." Naura terkekeh. Kembali mengelus rambut Ivander.
"Jadi, sekarang mau tidur atau mau mukul Naren?" Ivander mendengus.
"Jadi sekarang udah bisa ngejek ya kamu. Mau saya hukum, hm?" Naura terkekeh, lalu menggeleng.
"Tidur ya, Mas. Besok kan mau ke rumah Mas Akhasa." Ivander mengangguk. Merubah posisi menjadi telentang lalu menarik Naura untuk ikut rebah di sisinya. Memeluk tubuh wanita itu.
"Selamat Malam, Mas." Naura membubuhkan kecupan pada kening Ivander lalu memeluk tubuh pria itu.
"Hm."
