Nyaris saja Adaline berteriak begitu merasakan sebuah dekapan yang berasal dari belakang tubuh wanita itu begitu berhasil memasuki salah satu kamar di club yang Adaline kunjungi kini.
Adaline dengan cepat menormalkan detak jantungnya, mengsugesti dirinya agar baik-baik saja malam ini. Adaline sudah berjanji untuk tidak menyesal atas apa yang menjadi pilihan wanita itu untuk malam ini.
"Kamu gugup?" Bisikan itu terdengar pada salah satu telinga Adaline. Dengan sedikit kikuk, Adaline menggeleng. Sedikit menggerakkan kepala wanita itu untuk memperlihatkan senyumnya.
"Gak. Jadi?" Pria itu tersenyum. Menggesekkan dagunya pada leher Adaline sebelum mengigit kecil rahang wanita itu.
"Let's play, kitten."
***
Malam itu Adaline merasa ada yang aneh pada kedua orangtuanya. Tidak biasanya kedua orangtua wanita itu bersikap baik padanya. Adaline tau, ada sesuatu yang disembunyikan darinya.
Seperti biasa, Adaline akan bersikap cuek, tetap tenang menyantap makan malam miliknya. Tidak memedulikan tiga orang yang sedang asik dengan obrolan yang Adaline sendiri tidak ingin mengetahuinya.
Selesai dengan makan malam miliknya, Adaline bergegas masuk kembali ke kamar, melanjutkan mengurusi tugas kuliah wanita itu. Namun baru juga beberapa langkah, Adaline harus kembali menolehkan wajah menatap sang Ayah.
"Kamu tidak lupa, bukan?" Adaline pikir sang Ayah yang akan lupa dengan apa yang pria itu sudah lakukan pada hidup Adaline.
"Tentu. Aku pikir Ayah yang lupa."
"Mereka hampir sampai. Bersiaplah." Tanpa jawaban, Adaline kembali melanjutkan langkahnya. Menahan luapan amarah dalam tubuhnya.
Dalam kamar, wanita itu menatap pantulan dirinya. Tersenyum mengejek pada diri wanita itu. Dua puluh tahun hidup, Adaline tidak pernah sekalipun merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Adaline bagai orang lain. Namun sangat berbeda dengan Arela, selalu di nomor satukan dan di jadikan sebagai panutan. Di junjung tinggi. Selalu dibedakan dengan Adaline yang merupakan sang Kakak.
Adaline sampai heran. Pernah berpikir kalau dirinya adalah anak angkat, bukan anak kandung kedua orangtuanya. Perlakuan terhadap dirinya dan Arela, jauh berbeda. Bak pembantu dan tuan putri.
"Adaline!" Adaline mendesah. Panggilan dari sang Ayah menandakan kalau tamu yang sejak beberapa minggu ini, telah tiba di rumah mereka.
Adaline tidak perlu repot-repot untuk merias diri, memperlihatkan wajah palsu di depan tamu, Adaline bukan Arela, yang akan dengan senang hati mematut diri untuk memperlihatkan keindahan dari make up.
Hanya bermodalkan kaos dan celana training, juga tanpa make up, Adaline kembali menginjakkan kaki di lantai satu rumah yang ditempatinya.
Kedua mata Adaline membulat sempurna begitu melihat salah satu dari enam orang yang duduk di sana. Sekelabat kejadian itu, kembali hadir dalam kepala Adaline. Berputar dengan sempurna, membuat Adaline terdiam kaku.
***
Roda itu berputar, sama halnya dengan kehidupan seseorang. Adaline tidak pernah mengeluh atas hidupnya selama 20 tahun hidup dengan keluarga yang tidak pernah menganggapnya seperti keluarga juga anak.
Namun yang Adaline sesali adalah, kenyataan yang sudah pernah terduga oleh wanita itu, ternyata lebih menyakitkan daripada saat terpikir.
Adaline mendesah. Mengepalkan kedua tangan wanita itu lalu membuang nafas dengan kasar. Hidupnya sudah baik-baik saja kini, namun masih terasa sangat menyakitkan mengingat kembali kenangan beberapa bulan yang lalu.
"Kitten?" Secepat mungkin Adaline merubah raut wajahnya. Tersenyum mendapati seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamar. Mendekat pada Adaline dengan sebuah nampan yang berada di salah satu tangannya.
"Ya?"
"Forget?" Adaline hanya bisa tersenyum simpul begitu melihat nampan berisikan makanan yang disodorkan di hadapan wanita itu.
"Gak. Lagi gak pengen aja."
"Ingat, bukan cuma kamu, our baby juga butuh asupan." Ya, Adaline tidak menyangka, diusianya yang terbilang cukup muda sudah diberikan rezeki berupa anak.
"Satu lagi, jangan banyak berpikir yang tidak penting. Kamu tau, aku gak suka bukan?" Adaline menghentikan gerakan tangan wanita itu begitu merasakan sapuan lembut pada keningnya.
"Kamu sudah sepakat untuk memulai semuanya dengan yang baru. Masa lalu, gak perlu kamu pikir lagi. Aku benci liat kamu sedih. Ngerti?" Tanpa berkata, Adaline hanya bisa menganggukkan kepala. Tidak bisa mengeluarkan sepatah dua kata begitu melihat tatapan yang diberikan pria di hadapan Adaline.
"Mau di suap?"
"Gak, aku bisa sendiri kok." Pria itu mengangguk. Menatap Adaline yang mulai melahap sarapannya yang sangat terlambat. Kini jam sudah menunjukkan pukul dua siang.
"Ini terakhir kali aku liat kamu sedih mikir mereka. Kedepannya kalau sampai terjadi lagi, kamu tau bukan apa yang akan aku lakukan. Promise?"
"Hm." Adaline bergumam, kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Hm? Serius?" Adaline memberengut dengan kedua pipi yang penuh akan makanan.
"Promise, Kitten?"
"Ya, Mr. Rafael." Rafael, pria itu tersenyum senang. Seketika membawa kedua tangannya untuk menarik wajah Adaline, memberikan ciuman pada wanita itu.
"Good girl."
𝙶𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊? 𝙼𝚊𝚜𝚞𝚔 𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚒𝚑?