Luka pertama

10.4K 808 40
                                    

Happy reading guys

Angger kembali, tolong sayangi Angger:)

Muahhh

*****

Manik bulat remaja kecil itu merotasi, melihat sekeliling rumah yang gelap dan sepi. Ia berjalan membungkuk setelah berhasil membuka pintu rumah yang tumben sekali tidak dikunci.

"Apa udah nggak ada orang, ya?" monolognya.

Berjalan pelan, sebisa mungkin tak menimbulkan suara apapun. Bahkan, ia bernapas sangat pelan agar hidungnya tak menimbulkan suara.

Lagi, mata itu tak berhenti merotasi. Melihat ke arah di mana memungkinkan orang duduk menunggunya.

Ia tersentak kaget, kala suara berat menyapa indra pendengarannya, "Dari mana saja kau?!"

Angger menegakkan tubuhnya, memicing sebentar saat lampu ruang tengah tiba-tiba hidup. Ia gugup, memilin ujung bajunya yang siapa tau bisa menyalurkan rasa tenang padanya.

"P-papa," cicitnya. Matanya enggan menatap manik hazel sang ayah. Lebih baik ia menatap dada orang itu saja!

Napasnya memburu, aura sang ayah sungguh mencekam. Bersamaan langkah pria besar itu yang semakin dekat, semakin bergetar pula tubuh kecil itu.

"Dari mana saja?!" bentakan yang begitu mengagetkan membuat jantungnya terlonjat. Untung saja, ia tak punya riwayat sakit jantung!

Angger terdiam, untuk bersuara saja rasanya sudah tak mungkin. Lehernya terasa tercekik, untuk menelan ludah sendiri saja sangat sulit.

Ingin dibuang, takut tidak sopan! Apa beraninya?

"Jawab, Angger! Papa, nggak suka kamu kluyuran malam-malam!"

Kepala remaja itu semakin menunduk, tubuh yang tadi bergetar pelan kini semakin hebat. Ia takut, sungguh! Untuk pertama kalinya pria itu memarahinya.

Biasanya, jika Angger berbuat salah, pria itu akan menasehatinya dengan kata-kata baik. Kata yang lembut jika didengar, kata yang penuh kasih sayang, tapi sekarang pria itu sangat bengis, tidak ada lagi ujaran lembut.

"A-Angger dari jembatan, pa." ucapnya terbata. Sebisa mungkin ia menjawab sang ayah. Meski takut, tapi ia harus, bukan?

Angger ini laki-laki, tidak boleh cengeng dan takut! Moto hidupnya saat berusia lima tahun.

Semakin beranjak dewasa, ia bukan menjadi pemuda moto hidupnya. Kebalikannya, remaja kecil itu anak yang penakut, cengeng dan yahh, sangat manja. Tidak bisa melakukan apapun sendiri.

Meski begitu, ia akan terlihat kuat jika berada jauh dari orang tua. Hanya kelihatannya saja, aslinya ia akan menangis setelah sampai rumah.

Rahang sang ayah tampak mengetat, giginya bergelatuk menahan emosi. Ntah apa tujuan awal pria itu emosi sedemikian rupa. Membuat Angger semakin yakin jika memang dirinya akan dibuang.

Bagaimana tidak, ia benar-benar merasakan perubahan sikap sang ayah. Ini bukan ayahnya yang dulu, atau yang dulu bukan lah ayahnya?

Angger berusaha mendongak, takut-takut ia menatap wajah bengis sang ayah. "Papa, m-maafin adek."

Satu tamparan mendarat mulus di pipi gembilnya, membuatnya sontak mengerang sakit. Anak itu terisak, untuk pertama kalinya ia merasakan bagaimana rasanya ditampar. Apalagi, ini ayahnya. Ayahnya!

"Kau benar-benar sebuah kesalahan, Angger!"

Perkataan itu sontak membuat Angger menatap ayahnya. Sebuah kesalahan? Apa maksudnya? Angger tidak mengerti!

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang