Happy reading
Jangan lupa vote dan komen! Gausah bandel!
Typo harap maklum ya!
Enjoy ....
*****
Jika bayi laki-laki yang dulu terlahir karena sebuah kesalahan dapat memilih hidupnya sendiri, apakah ia akan memilih untuk tetap hidup? Jika saja ia mengetahui, bahwa ia hadir dari sebuah kesalahan tak disengaja.
Harsa Margaja, sosok lelaki yang gemar dipanggil Asa. Sejak duduk di kursi kerjanya, memandang pepohonan yang terpampang nyata di balik jendela kaca.
Banyak hal mengganjal dalam hatinya, rasa bersalah pada sang putra yang sempat ia tulis di buku nasib. Juga, rasa kejujuran yang rasanya ingin keluar begitu saja. Namun, berusaha keras ia menahan itu semua.
Papa ... tepat saat Angger berumur hampir satu tahun, ocehan pertama yang putranya keluarkan ada kata 'Papa'. Demi apapun, Asa bisa merasakan kebahagiaan, masalah yang sempat singgah di kepala melayang bak layang-layang yang terhempas angin besar, hilang.
"Putraku sangat manis," ujarnya dengan dengus kekehan.
Maniknya tak lepas memandang ke depan, menerawang betapa bahagianya ia dulu. Hidup dengan seorang istri juga anak, meskipun silih berganti masalah selalu datang membawa bencana kecil.
Seperti tempo dulu, meninggalkan sang anak bukan semata-mata keinginannya pribadi, tapi dorongan juga kesalahannya.
Apa, sekarang apa yang harus ia perbaiki agar rasa sakit yang pernah singgah di hati putranya, dapat hilang begitu saja?
Apa ia harus bertekuk lutut?
Ahh! Bahkan selama ini ia berjalan bersama kaki putranya, jika bukan karena Angger, ia tak akan mau hidup lebih lama.
"Maaf ..." masih terasa sakit yang melekit, meledakkan air mata yang mendidih hanya karena mengingat kebodohannya.
Ia akui, betapa bodohnya ia kala itu. Menyetujui kesepakatan tak masuk akal dari sang---
"Kebahagiaan, senyum, bukan kesengsaraan. Itu janji Papa, sayang,"
Membiarkan air mata turun membasahi pipi, setidaknya hatinya sedikit tercuci dengan jatuhnya air mata.
Kata orang, tangisan adalah sebuah ketenangan. Mungkin, itu adalah kata yang tepat untuk seorang Asa. Meski ia lelaki, tidak menutup kemungkinan untuk menangis, bukan?
Ia menundukkan kepala, melihat sepasang kaki yang terbalut kaos kaki abu-abu monkey. Kaki yang dulu rela ia bawa jalan bersama keluarga kecilnya.
"Aku ingin semuanya kembali, anak, juga istri."
*****
Duduk berayun kaki di kursi taman menambah suasana nikmat di hati. Melihat segerombolan anak yang lebih kecil darinya sedang bermain, sungguh membuatnya tersenyum.
"Abang, Angger mau main jungkat-jungkit." arah pandangnya lurus pada jungkat-jungkit yang menganggur, menunjukkan pada sosok pemuda yang ada di sebelahnya.
Pemuda itu, Difkie, yang kebetulan sedang mengambil cuti. Katanya, ia ingin menenangkan sedikit pikiran beratnya.
Ia tersenyum, mengecup pipi sang adik angkat. "Kalau abang yang naik, jungkat-jungkitnya bisa patah, sayang," ujarnya seraya menyugar lembut surai Angger.
Angger menatap pemuda itu dengan kecewa, padahal ia sangat ingin bermain jungkat-jungkit.
Ck! Ia tidak sadar saja, hidupnya lebih menarik dari jungkat-jungkit itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angger
Teen FictionSemua bermula saat orang tuanya berpisah, hidup sendiri tanpa ada yang mengasihani. Hidupnya berubah 180°, ia ingin menyerah, tapi tidak kunjung mati. Sampai di mana, ia ingin mengakhiri semuanya. Tidak menolerensi penjiplakan! Jika menemukan cerita...