Hallo, happy reading guys ...
Enjoy yaa ...
Sekitarnya teman-teman sudi memberi warna pada bintang vote dan memenuhi kolom komentar untuk memberi saya semangat, saya ucapkan terimakasih.
Cium dulu sini, muahh
*****
"Om besar, Angger nggak mau liat Om itu," suara anak itu melemah. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Tubuh kecil itu bergetar, seakan ketakutan barunya muncul lagi, suara dan sentuhan itu membuatnya semakin takut.
"Om, no! Angger nggak mau!"
Sontak, Imge menjauhkan anak itu dari jangkauan Harsa. Pria itu jelas heran, kenapa anak itu tidak mau ia sentuh? Apa ia berbuat salah? Begitu pikir Harsa.
Gemta yang sedari tadi ada di hadapan Imge melongo tak percaya. Anak itu berbicara dengan suara tinggi, hal yang sangat jarang ia lakukan. Ia menatap Imge heran. "Dia kenapa, Imge?"
Imge menggeleng, lalu melihat ke arah Angger yang sudah menangis tanpa suara. Perlahan, ia usap punggung kecil itu. "Angger, kenapa, hm?"
Tak ada jawaban. Angger hanya terus menangis. Ia tidak menyangka jika benar, ayahnya telah memiliki keluarga dan anak selain dirinya. Itu pikirnya
Dengan kasar Angger menghapus air matanya, menatap Imge penuh permohonan. "Om besar, Angger mau pulang," mohonnya sesenggukan.
Imge menyugar surai lembut itu, mengecup sekali kening sempit Angger. "Kenapa, hm? Angger tidak akan pulang, kamu akan tinggal di sini."
Anak itu menggeleng gusar, sungguh! Ia tidak mau tinggal di rumah itu. Menurutnya, itu akan menyakitkan. "Nggak! A ... Angger nggak mau!"
Harsa yang sedari tadi hanya melihat pun mendekat. Namun, langkahnya terhenti saat satu seruan menyapa indra pendengarannya.
"Stop! Angger benci papa! A ... Angger nggak mau sama papa! Pergi!"
Perkataan itu membuat ketiga pria di sana mengerutkan alisnya. Papa? Siapa yang anak itu maksud?
"Angger, siapa yang-" perkataan Imge terhenti saat Angger dengan begitu cepat menyela.
"Pergi! Angger benci papa! Pergi!" lengkingan suara Angger menggema di kamar itu. Dadanya sesak, napasnya memburu dan mulai terasa sesak.
Lagi, manik hazel Angger bertemu dengan manik tajam Imge. Tatapan memohon ia tampilkan, sebab ia benar-benar tidak ingin berada di sini. "Om besar, Angger mohon ... A ... Angger mau pulang, Angger nggak mau ketemu papa," ucapnya bersama sesenggukan seraya mengguncang lengan Imge.
Lagi, Imge menggeleng sebagai penolakan. "Tidak Angger, Om tidak akan membiarkanmu sendirian, lagi."
Harsa yang semakin bingung dengan situasi pun semakin maju. Tak peduli dengan pekikan Angger yang tak mau didekati oleh dirinya. Perlahan, ia mengambil alih Angger dari gendongan Imge.
Pria itu tersenyum, saat melihat Angger menutup rapat matanya, bibir kecil itu terus bergumam, "A ... Angger benci papa, Angger nggak mau sama papa." begitu seterusnya.
Harsa mendudukkan dirinya di kasur, membiarkan Angger duduk gusar dipangkuannya. Pelan dan lembut ia mengusap mata anak itu. "Buka matamu, Angger."
"Nggak! Angger nggak mau liat papa! Angger benci papa, papa jahat!"
Lagi, senyum di wajah Harsa terbit. Bukan senyum bahagia, tapi senyum yang baru saja hadir karena hatinya mencelos sakit. "Angger, buka matamu, nak," ujarnya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angger
JugendliteraturSemua bermula saat orang tuanya berpisah, hidup sendiri tanpa ada yang mengasihani. Hidupnya berubah 180°, ia ingin menyerah, tapi tidak kunjung mati. Sampai di mana, ia ingin mengakhiri semuanya. Tidak menolerensi penjiplakan! Jika menemukan cerita...