Happy reading guys
Mari nikmati apa yang ada.
Jangan lupa beri Angger banyak cinta
*****
"Ibun, Bun. Dingin, adek kedinginan, Bun." Tubuh kecil Angger meringkuk kedinginan, sesekali ia merancaukan orang tuanya.
Kedua tangannya sudah diapit paha, tapi masih tak menimbulkan rasa hangat sedikit pun, kini wajah manis itu tampak pucat. Udara malam memang sangat tidak cocok untuknya.
"Papa, adek ... dingin." Lagi, ia merancau kata yang ntah siapa yang akan mendengar. Angin? Rasanya pun enggan.
Deru napasnya tercekat seakan tercekik. Bahkan, hidungnya terasa sangat kering akibat suasana yang terlalu dingin.
Rumah kardus itu ikut bergoyang, kala angin berhembus. Atap yang hanya terbuat dari karung beras juga ikut serta mengibar menambah suasana semakin dingin, kibasan itu membawa angin malam semakin masuk, menusuk kulit putih Angger dengan tak sopan.
Ia mulai terisak. Namun, masih enggan membuka mata, meski ia tidak benar-benar tertidur, "I-Ibun, pe-peluk adek. Di-di-ngin, Bun."
Tak ada rengkuhan, pelukan, dekapan atau apapun itu namanya. Angger hanya bisa merancau, mengadu pada angin yang mungkin akan menyampaikan pesan pada orang mereka.
Dulu, sebelum seperti ini. Tak jarang ia ikut tidur bersama orangtuanya. Menyelip di sela mereka untuk mencari kehangatan. Waktu itu, tanpa pinta mereka memeluknya. Tanpa pinta mereka menjaganya dan tanpa pinta pula sekarang mereka membuangnya.
Bagai sampah sekali pakai dan tak terpungut lagi.
Apa akan ada yang rela memungut sampah itu lagi? Atau bahkan, mereka rela mendaur ulang hingga berbentuk indah kembali, apakah akan ada?
Bergulir kembali kenangan indah di dalam kepalanya. Saat itu, sang ayah yang sangat hapal pun mengusap punggung Angger saat ia susah tertidur. Pipi gembul anak itu berkali-kali mendapatkan kecupan manis. "Sstt, anak papa bobok lagi, ya. Biar papa peluk."
Angger cemberut, menatap lekat wajah tampan ayahnya seraya menggeleng, "Papa, adek nggak mau dicium lagi."
"Adek itu udah besar, papa."
Lagi, ia merutuk. Menghempas pikiran untuk bisa kembali merasakan kehangatan. Itu sudah seperti kertas yang terbakar, hanya tersisa abu dan siap terbang dibawa angin, kemudian menghilang. Sama, sama seperti kasih sayang yang diberikan orang tuanya dulu. Semua berasal dari kehangatan!
Angger benci kehangatan!
Mata bulat indahnya perlahan terbuka. Tatapannya tampak kosong, pikirannya berkecamuk merusak isinya. Memori kisah kehangatan memang paling menyakitkan.
"Apa Angger mati aja?"
Beginilah Angger. Ia mudah menyerah. Sudah dikatakannya bukan? Ia anak manja, anak yang tidak bisa hidup sendiri dan anak tidak bisa apa-apa. Sayang sekali, di umurnya yang terbilang masih muda, ia harus merasakan kejamnya kerekatan keluarga.
Memang, sebagian orang menganggapnya hal sepele. Namun, itu salah satu hal mematikan, mental maupun fisik.
Hembusan angin kembali menerpa rumah kardusnya, angin malam itu cukup kencang. Suasana dingin semakin terasa dengan tambahan langit mendung bergemuruh.
Tubuh Angger tersentak, kala mendengar suara petir yang begitu mengagetkan, sontak ia menutup kedua telinganya. Tubuhnya lagi-lagi gemetar, yahh, untuk kesekian kalinya ia membutuhkan seseorang agar merengkuhnya.
"A-Angger ta-kut, Bun." Kembali mengadu pada sang ibu yang ia tau bahwa itu tak akan terdengar.
Angger terduduk meringkuk setelah mendengar hujan mulai turun. Bukan hujan yang diawali dengan rintikan, tapi hujan yang spontan datang secara ramai. Sepertinya, Tuhan memang ingin melihatnya begitu kedinginan malam ini. Baiklah, akan Angger coba. Sebisa mungkin ia menggunakan moto hidupnya saat kecil.
Angger ini laki-laki, tidak boleh cengeng dan takut!
"Papa, adek takut. Papa sama Ibun di mana?" Setia dengan gumaman tak terbalaskan. Kepala anak itu menelusup pada ringkukkan lutut, bergerak bagai kursi goyang berhantu.
Tersirat berbagai macam di hati kecil Angger. Mulai dari, merasa tidak yakin dengan apa yang terjadi, hingga merasa ia tak pantas bahagia. Padahal, ia dulu sudah merasakan apa itu kebahagiaan.
Memangnya, Angger pantas berucap demikian?!
Bersamaan dengan turunnya hujan, rumah yang hanya terbuat dari kardus itu mulai limbung, hingga roboh menimpa tubuh kecil Angger.
Bergeming beberapa saat, membiarkan rumahnya itu runtuh menimpah tubuh. Ia mulai berdiri, meraih potongan kardus yang tampak tak terlalu basah sebagai payung untuknya. Beranjak meninggalkan tempat yang ia bilang rumah itu, sekarang ia tak tau harus ke mana.
Terisak, hingga meneteskan air mata berkali-kali, dadanya terasa sesak, sesak menahan sakit keluarga, juga ditambah dengan alerginya terhadap udara dingin, "Angger harus kuat!"
"Kalo nggak kuat, kita nyerah aja!" Bagai berbicara dengan teman, namun hanya bayangan yang ada bersamanya kali ini. Itupun, tak terlalu terlihat, karena pencahayaan terlalu remang.
Kaki kecil itu terus melangkah tak tau arah, hingga sampai pada perempatan jalan binar matanya muncul. Ia senang, menemukan ada sebuah supermarket di sana. Dengan cepat ia berlari, seakan tak ingin tempat itu diambil oleh yang lain.
"Akhirnya, bisa neduh juga."
Masih memegang potongan kardus, ia berjongkok di bawah atap supermarket seraya melihat bagaimana air hujan menyentuh tanah.
Lagi, Angger menutup telinganya seraya memejamkan mata saat petir kembali bersuara. Degup jantungnya tak beraturan dengan tubuh yang menggigil kedinginan.
Sungguh, ia takut!
🌧️🌧️
Gemuruh perut remaja kecil itu terus bersahutan. Matahari kini ikut menyapa wajah pucatnya. Perlahan, mata indah itu terbuka, melihat hari yang sudah cerah. Ahh, sepertinya pagi cerah itu sedang mengejek hatinya yang sendu.
"Angger laper."
Angger berusaha berdiri. Namun, belum sempat ia berdiri sempurna, seseorang sudah lebih dulu manariknya untuk segera bangkit.
"Bangun kamu! Toko saya bukan lapak tidur untuk pengemis!"
Anak itu tertohok, mendengar ucapan si pemilik toko. Pria bengis itu berbicara seakan Angger benar-benar seorang pengemis. Padahal, hari ini Angger masih setia dengan kemeja biru, celana serta sepatu mahalnya.
Pria itu menghempas tubuh Angger agar menjauh dari toko nya, enggan melihat Angger berlama-lama di sana.
"Dasar gelandangan! Nggak punya orang tua ya kamu?!"
Bukan langsung menjawab, Angger lebih dulu memegang dadanya yang berdenyut nyeri. Ternyata, kata-kata bisa lebih menyakitkan daripada cubitan setan.
Angger menoleh, melihat lekat ke arah pria tua itu dengan mata yang berkilat kaca, "A-Angger bukan pengemis, Pak." ujarnya seraya menggeleng.
"Saya punya orang tua kok, tapi mereka membuang saya. Terimakasih Pak atas tumpangan latar toko Bapak."
Setelah mengatakan itu, Angger beranjak dari sana, membawa luka lara yang kini bertambah. Sedangkan pria tua tadi, menatap malas ke arah anak itu. Yahh, ia pikir Angger hanya membual agar dikasihani.
Sekarang, ia baru merasakan, merasakan bagaimana hidup tanpa mereka.
Apa ini hukuman untuknya karena selalu manja?
*****
Tbc
Jangan lupa vote dan komen yaa
I lop u, i purple u
KAMU SEDANG MEMBACA
Angger
Teen FictionSemua bermula saat orang tuanya berpisah, hidup sendiri tanpa ada yang mengasihani. Hidupnya berubah 180°, ia ingin menyerah, tapi tidak kunjung mati. Sampai di mana, ia ingin mengakhiri semuanya. Tidak menolerensi penjiplakan! Jika menemukan cerita...