Happy reading
Vote dan komen ya!
Enjoy ya ...
Masih enjoy kan?
*****
Mendung, malam mendung dengan suasana gelap membawa suasana hati yang mendung pula untuk pemuda bersurai coklat. Setelah mengingat kejadian buruk yang membuat traumanya kembali, Gemta asik mengurung diri. Tak ingin menemui siapapun. Kamar menjadi ruang paling nyaman untuknya saat ini.
“Gemta, keluar ya, sayang. Gemta kenapa, nak? Gemta marah sama Papa? Iya, sayang?”
Ketukan pintu yang rasanya sudah berpuluh kali dilayangkan tak ia gubris, memilih diam di sudut kamar seraya memeluk tubuh yang membutuhkan rengkuhan.
“Gemta, buka, ya. Ini Imge, sayang.” tak hentinya pula lima lelaki di depan pintu Gemta bersuara untuk membujuk pemuda itu.
Harsa, Marell juga Difkie yang akhir-akhir ini sibuk dengan pekerjaan mereka sampai harus pulang karena merasa amat khawatir dengan kesayangan mereka. Sudah lama Gemta tak seperti ini, rasanya Harsa tak sanggup jika harus melihat Gemta tersiksa lagi sebelum ia hilang ingatan dulu, tepat empat belas tahun lalu.
Di mana Gemta selalu mengingat kesalahannya, sungguh! Itu bukan kesalahan yang ia buat dengan sengaja ataupun tak disengaja, ia ingat bagaimana sang ibu mening---
“Gemta sayang, keluar ya, nak. Adek belum ada makan lho dari tadi pagi. Adek kenapa, hm? Bilang sama Papa, sayang.”
“Gemta, bang Marell pulang lho, adek nggak mau main?”
“Bang Difkie juga di sini, sayang. Abang janji nggak akan suntik kamu sekarang.” perkataan Difkie barusan membuatnya mendapat satu sikutan dari Marell yang berdiri tepat di sampingnya.
“Bodoh.” gumam Marell.
“Bang Gem, keluar dong! Angger kan mau main sama abang Gem.”
“Bang Gemta marah, ya, sama Angger? Angger janji kok nggak nakal lagi.” mengacungkan dua jarinya ke udara.
Di dalam sana, Gemta terlihat sangat kacau. Pipi yang sedikit berisi itu sudah dipenuhi dengan jejak air mata yang mulai mengering, pandangannya lurus ke depan dengan tatapan kosong, pikirannya begitu runyam.
Memori buruk empat belas tahun serta dua tahun kedepannya itu sungguh menghancurkan kepalanya. Ia tak lagi bisa berpikir baik saat ini.
Ia sadar, mungkin ini semua kesalahannya. Ia ... ia pantas dikatakan pembunuh, kan?
Lalu, bukankah pembunuh tidak pantas hidup?
Apa ia harus mengakhiri hidupnya saja?
Agar semua benak buruknya tak pernah hadir lagi.Ia tak kuasa mengingat adiknya benar-benar pergi karena ulahnya. Karena dirinya, semua kesalahannya.
Pikiran yang selalu menyalahkan diri sendiri tak habisnya terlintas di kepala. Ingin menghempas jika semua itu sudah takdir. Namun, berakhir dengan takdir yang berisi jika ia adalah pembunuhnya.
Dibalik pintu, Angger mengetuk dengan wajah lesu, bukan hanya ia yang lesu, bahkan empat lelaki lainnya. Cukup lelah mereka membujuk pemuda itu.
Angger tidak tau betul masalah apa yang sekarang menimpa Gemta, tapi hatinya ikut merasakan sakit entah dari mana salurannya. Semua mengalir begitu saja, seakan ia dan Gemta adalah satu darah yang saling mengalir.
Lelah mengetuk pintu, Angger menyandarkan kepalanya pada pintu besar itu, ia ingin menangis lantaran Gemta tak menanggapi ucapannya.
“Bang Gemta, Angger mau main sama abang.” luruh, air mata jatuh dari pelupuknya. Isak tangis juga ia keluarkan. Angger memang sangat cengeng jika sudah begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angger
Teen FictionSemua bermula saat orang tuanya berpisah, hidup sendiri tanpa ada yang mengasihani. Hidupnya berubah 180°, ia ingin menyerah, tapi tidak kunjung mati. Sampai di mana, ia ingin mengakhiri semuanya. Tidak menolerensi penjiplakan! Jika menemukan cerita...