Happy reading everyone...
Masih suka? Atau sudah muak?:'
Bagaimana kabar kalian?
******
Hari ini, esok ataupun nanti. Kalian tetap nahkoda dalam cerita hidup masing-masing.
*****
Selamat menikmati apa yang ada.
Silahkan komentar pada bagian yang paling kalian suka, siapa tau ada, ehehe.
*****
Suasana pagi sejuk hari ini terasa begitu tak nyaman bagi remaja kecil yang sedang duduk meringkuk di atas brankar.
Kaki kecilnya ditekuk, disertai tangan yang melingkar. Kepalanya sudah menelusup di dalam sana, terisak dalam diam yang semakin membuat relungnya sesak. Ia menyesal, menyesal tidak jadi terjun dari jembatan itu. Ia menyesal masih hidup dan ia juga menyesal diselamatkan.
“Harusnya Angger mati, Angger mau mati ... Takut ... Angger sendirian,” kata yang bersarang dalam kepalanya beberapa hari ini.
Harusnya, bukankah lebih baik ia memang tiada saja? Daripada harus menanggung beban yang tak karuan beratnya.
Tiga hari tepatnya, setelah insiden hampir meregang nyawa itu. Tiga hari pula ia diurus dengan sosok lelaki yang sama sekali tidak ia kenal. Boro-boro ingin menanyakan namanya, yang ia pikirkan sekarang hanya mati, mati, dan mati. Tidak ada yang lain.
Pria yang sedari tadi duduk di sebelah anak itu mengusap punggung Angger dengan lembut, sejak tiga hari lalu pula ia tak hentinya membujuk anak itu untuk bicara. Bahkan, ia tak beranjak keluar dari tempat itu barang sedetikpun. Jika ingin makan, ia akan minta tolong pada orang lain untuk membelikannya.
“Makan yuk, nanti perut kamu sakit lho kalau nggak makan. Angger pasti laper kan?” ujar pria itu.
Angger tak bersuara, ia hanya menggeleng tanda tak mau. Persetan dengan sakit perut, kini hatinya lebih sakit dari apapun.
Pria itu menghela napas berat, susah juga membujuk bocah tengil itu. “Kasian cacingnya, nanti kurus kalau nggak dikasih makan.”
Yah, ia sudah tidak tau lagi ingin bicara apa. Alhasil, ia mencari topik pembicaraan beralibikan cacing di perut.
Lagi, tak ada jawaban dari sang empu. Ia hanya diam di balik lekukan kakinya, tubuhnya bergetar. Pria itu tau, jika Angger menangis dalam diam. Sungguh! Itu menyakitkan.
“Angger mak--” perkataan pria itu menggantung, kala merasakan ponselnya bergetar di balik celana hitamnya. Tangan itu dengan sigap meraihnya, melihat siapa nama penelpon itu.
Baby Ge, itu yang tertera. Lelaki itu ingin beranjak dari sana, namun Angger mencekal tangan besar itu.
Angger mendongak, menghunus tepat pada manik tajam itu. Wajah penuh air mata serta mata sembabnya ia perlihatkan, bibir kecil itu bergetar saat berkata, “Om, jangan tinggalin Angger. Takut ... Angger ... Angger takut sendirian, Angger nggak mau sendirian lagi, nggak mau dibuang lagi.” Kepalanya menggeleng gusar, memohon seakan benar-benar takut sendiri, lagi. Ntalah, sudah berapa kali isak tangis yang ia keluarkan saat mengatakan hal itu.
Ketakutan, sekarang ia sangat ketakutan. Ia tidak pernah sendiri sebelumnya. Ia takut, sungguh! Sangat takut. Benak rasa yang sekarang sedang merundungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angger
Teen FictionSemua bermula saat orang tuanya berpisah, hidup sendiri tanpa ada yang mengasihani. Hidupnya berubah 180°, ia ingin menyerah, tapi tidak kunjung mati. Sampai di mana, ia ingin mengakhiri semuanya. Tidak menolerensi penjiplakan! Jika menemukan cerita...