Bocil

2.1K 304 13
                                    

Happy reading

Lagi pada bingung ya kalian?

So sorry, alurnya emang bikin mumet ya?
Yaudah, insyaallah kedepannya aku bikin yang lebih simpel deh.

Kenapa pada bilang Angger jadi ubi? Angger bukan ubi, cuma kentang aja.

Typo harap maklum

Enjoy!

*****

Sepasang kaki yang kini terpasang kaos kaki bermotif dengan boneka rubah di ujungnya masih terbaring di atas brankar. Infus yang beberapa waktu lalu bermanja di punggung tangan masih enggan terlepas, begitu pula dengan nasal di hidungnya.

Angger tak habisnya merengek, meminta agar dirinya terbebas dari benda-benda yang amat risih di tubuh. Angger tidak suka!

Jika ditanya kenapa, ia akan menjawab, “Angger bukan temennya, kalau temen baru boleh nempel-nempel.” ck! Dasar tidak nyambung!

Imge yang sejak dua hari lalu tak pernah lepas barang sedikitpun dari putra angkatnya. Berbaring bersama di atas tempat tidur yang cukup untuk mereka berdua. “Sudah lebih baik, hm?” bertanya seraya mengusap surai Angger yang mulai kering dan usang.

Angger mengangguk, mengeratkan pelukannya pada sosok tampan itu. “Ayah ... maaf,” berulang kali ia berkata seperti itu.

Kemudian, berulang kali pula Imge akan membalas. “Ayah sudah memaafkanmu, meski ayah hampir mati berdiri melihat anak ayah tak berdaya.”

Kalimat yang membuat remaja kecil itu semakin tak enak hati. Tentu saja ia menyadari kesalahan yang telah ia perbuat, bahkan ia sadar sepenuhnya. Ia tak terlalu takut untuk memakan makanan kesukaannya itu, lantaran sudah berulang kali remaja kecil itu masuk rumah sakit karena hal tersebut. Yah ... Asa akan berujar sama seperti Imge, mengatakan jika dirinya hampir mati berdiri melihat sosok kecilnya meregang nyawa. Namun, apa peduli Angger? Yang penting ia bisa bahagia sebelum mati.

Ia menganut kata orang yang pernah tak sengaja ia dengar waktu periksa rutin di rumah sakit. Sosok sepasang suami istri paruh baya yang asik duduk di taman berdua, terlihat mesra, karena sang istri asik menyuapi suaminya.

“Aku akan bosan jika harus makan dengan sop bening ini,” ujar pria paruh baya itu dengan melas, nampak sekali tak ada nafsu makan dalam dirinya.

Wanita paruh baya yang amat masih terlihat rupawan menghela napas jengah, menurunkan sendoknya yang hampir masuk ke mulut sang suami. “Untuk sekarang, kau hanya boleh makan makanan seperti ini, bersabarlah sebentar lagi.”

Lelaki itu berdecak sebal. “Sebentar lagi sampai aku mati? Oh, ayolah ... biarkan aku makan dengan bahagia sebelum itu terjadi. Hidup hanya sekali, sayang.”

Angger mengusakkan wajahnya pada dada Imge, sesekali ia menggigit dada ayah angkatnya itu--kebiasaan buruknya.

“Ayah ....”

“Iya, sayang. Ada apa, hm?” masih setia mengusap surai lembut Angger, mengecup pucuk kepala anak itu berulang kali.

Imge sangat bersyukur, masih diberi kesempatan untuk merawat kelinci kecil itu. Tak terbayang jika si kecil pergi. Ah ... mungkin itu akan menjadi penderitaan baru untuknya.

Remaja kecil itu mengangkat wajahnya, melihat wajah Imge yang amat teduh. Ragu ia berkata, sebelumnya napas panjang ia helakan. “Angger mau sama Papa. Boleh, ayah?”

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang