Happy reading guys!
Selamat menikmati apa yang ada:)
Mari tebar vote dan komen kalian, muah:)
*****
Hamparan awan cerah menyergap seluruh tubuh Angger. Maniknya melirik ke segala arah, mencari tempat di mana ia bisa mendapatkan makanan.
Siang ini, Angger masih kekeuh tidak ingin pulang ke rumah. Padahal, hatinya memberontak untuk pulang dan melihat sisa kenangan yang ada di sana.
Tangan anak itu terangkat menggaruk tubuhnya yang terasa gatal. Gatal sisa alergi juga karena baju lembab yang ia kenakan.
Mulai hari ini, ia ingin memantapkan hati untuk bisa menerima semuanya. Baiklah, jika mereka membuang Angger, ia akan hidup sebagaimana yang orang tuanya inginkan.
Hidup dengan uang, misalnya? Tapi Angger tidak pandai cara mendapatkan uang lewat kartu hitam itu. Ahh! Ia harus mencari cara.
Angger mulai mengais tempat sampah, mencari siapa tau ada sisa makanan yang tertinggal dan bisa ia makan. Begitu hingga beberapa kali saat ia menemukan tong sampah besar dekat restoran ataupun cafe. Namun, belum juga ia dapatkan.
Ia kembali berjalan seraya memegang perutnya yang terasa sakit. "Capek." Begitulah kata yang ia gumamkan sejak pagi.
Matanya berbinar kala melihat restoran yang sepertinya memiliki kemungkinan membuang banyak sisa makanan. Lagi, ia mengais tempat sampah di sana. Namun, lagi-lagi tak juga ia dapatkan.
Pergerakannya berhenti, saat mendengar suara kucing, ia menoleh ke samping, melihat seekor kucing yang sedang makan di pelataran tempat sampah, porsinya cukup banyak dan terlihat enak. Bahkan, kucing itu terlihat sangat lahap.
Angger menelan ludahnya kasar, ia ingin makan, ia sangat lapar. Sungguh! Apa boleh ia iri dengan kucing itu?
Sekelebat Angger berpikir, apa ia harus makan bersama kucing itu? Angger menggeleng guna membuang pikiran konyolnya, tapi perutnya terus bergemuruh yang menimbulkan rasa sakit serta nyeri.
Dengan ragu, Angger mulai mendekati kucing hitam itu. Berjongkok seraya melihat lekat makanan si kucing.
Bibir anak itu bergetar, "Mi-miauw, bo-boleh nggak Angger minta makanan kamu?" ujarnya gugup, berusaha berbicara sopan pada makhluk kecil itu.
"Sedikit aja, kok. Boleh, ya?"
Si kucing hitam mengeong, melirik Angger sekilas seakan tau bagaimana keadaan Angger sekarang.
"Ma-makasih, ya, Iauw," tuturnya seraya tersenyum.
Ia bersyukur, setidaknya bisa makan hari ini.
Tangannya dengan ragu mengambil nasi beserta lauk si kucing, getaran pada tangannya begitu kentara saat anak itu ingin memasukkan makanan tersebut ke mulutnya. Air bening turun begitu saja saat satu suapan masuk, sesak. Ingin merasa jijik, tapi perut tak bisa diajak kompromi. Sungguh! Ia sulit untuk mengunyah dan menelannya.
Makan sambil menangis adalah satu hal menyakitkan. Lagi, Angger kembali mengambil nasi itu, membiarkan si kucing yang mengerang hampir menggigit tangannya, "Sedikit lagi, ya, Iauw."
Seumur hidup Angger, ia belum pernah sekalipun merasakan yang namanya Nasi Kucing. Namun, sekarang ia makan bersama kucingnya sekalian. Bukan Nasi Kucing, tapi nasinya si kucing.
"Iauw, kamu udahan dong makannya, buat Angger aja, ya." Seakan tak tau diri, Angger memerintah kucing itu untuk berhenti makan. Padahal, itu kan bukan miliknya. Sekarang, posisinya Angger yang meminta, bukan si kucing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angger
Teen FictionSemua bermula saat orang tuanya berpisah, hidup sendiri tanpa ada yang mengasihani. Hidupnya berubah 180°, ia ingin menyerah, tapi tidak kunjung mati. Sampai di mana, ia ingin mengakhiri semuanya. Tidak menolerensi penjiplakan! Jika menemukan cerita...