Hopeless

5.1K 454 610
                                    

Happy reading guys

Jangan lupa tebar cinta...

Hati-hati muntah bacanya, hehe

Mari berjejak

*****

Goresan apa yang paling sakit?
Atau, tebasan apa yang paling mengagetkan?
Sungguh! Angger bertanya.

*****

Jika bisa dikatakan. Angger adalah remaja telur yang pernah terbentur, itu benar. Hanya saja ia tak pernah sadar akan benturan itu.

Sudah lama, sebelum cerita ini kembali dimulai.

Sudah lama hidupnya retak, hanya tinggal satu sentuhan saja keretakan itu benar-benar hancur tak berbentuk. Bisa, jika ia ingin menyusunnya seperti potongan puzzle, tapi itu hanya akan terlihat sangat bagus jika dilihat dengan jarak jauh. Sedangkan, jika dilihat dengan amat dekat, banyak celah dan pori yang tersisa. Itulah jarak, sangat tipis namun terasa. Terasa perbedaanya.

Seulas senyum yang ia gambarkan di wajahnya sekarang adalah benar senyumnya. Senyum penuh kesakitan dan luka. Luka gores ataupun tebas. Goresan kata, juga tebasan kenyataan yang membuatnya menggelindingkan harapan bahagia.

Dulu. Yah, rasanya hampir bosan jika bercerita tentang masa lalu. Namun, dulu Angger selalu ingin bahagia, setiap saat tiada henti. Harapan itu masih sama seperti sekarang, tapi antusiasnya sedikit berkurang.

Remaja kecil itu membenamkan wajahnya pada lipatan tangan yang ia sanggahkan di atas meja. Tidur dengan nafas teratur, dan merasa tenang karena suasana kelas yang sangat sepi.

Hanya dia, seorang diri dalam ruangan yang cukup luas itu.

Suasana tenang pagi ini membuatnya semakin terdukung untuk terlelap, namun saat ingin mencapai puncak nyenyak, tidurnya malah terganggu oleh tangan yang terus mengguncang tubuhnya.

Ia bergumam kecil, mengibaskan tangannya tanda mengusir orang tersebut, “Cabut lo! Gue mau tidur!”

Sekalian deheman, Angger tak peduli.

Dua kali, juga masih begitu.

Orang itu berdehem lagi, kemudian mengangkat kepala Angger agar menatapnya.

Mau tak mau, dengan terpaksa, perlahan Angger membuka matanya, awalnya ia masih santai, beberapa detik kemudian ia kaget hingga memundurkan kursinya. Saat itu juga, rasa kantuknya hilang.

Sungguh, makhluk besar itu lagi.

“Eh, buk Gaziah ngapain di sini?” tanya anak itu seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Buk Gaziah, ia tak banyak mengeluarkan suara. Wanita itu sudah tau jika Angger berpura-pura pincang. Pasalnya, saat buk Gaziah ingin balik ke lapangan untuk mengikuti upacara, matanya melihat siluet yang sangat ia kenal sedang berjalan santai sembari bersiul ria. Aahh, dasar bocah nakal, itu.

“Ikut saya, sekarang!” tanpa menunggu persetujuan sang empu, buk Gaziah menarik kasar kerah baju Angger, hingga membuat remaja itu mengikuti langkah sang guru sampai hampir terjatuh.

“Aduh, buk! Pelan-pelan, dong. Saya mau kejongor ini!” Sungutnya.

“Diam! Saya tidak minta kamu bersuara!” ujar wanita itu dengan nada tegas yang terkesan marah.

Angger mendengus kesal. “Ah ela, buk! Setiap orang mah punya hak suara, berarti saya juga, dong!”

Buk Gaziah menatap Angger sekilas, tangan besar itu semakin cepat menarik Angger, tak peduli jika anak itu kesusahan mengikuti langkahnya. “Diam atau saya panggil orang tua kamu!”

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang