Disappear

2K 276 21
                                    

Happy reading

Apa kabare?

Selamat bertemu di bulan maret!

Happy birthday untuk yang ulang tahun! Sehat selalu and always happy!

Typo harap maklum:)

Enjoy yaa, karena ini chapter penuh dengan pelukan dan kecupan, sangat manis dan menggemaskan!



*****

Awan mendung menyapa, memenuhi langit biru yang amat indah. Mata semakin gelap, menatap gundukan tanah yang terlihat basah.

Sekarang, harus kemana lagi jika bukan datang menemui sosok yang sudah tertimbun tanah? Untuk bertemu secara langsung kini sudah tak lagi ada harapan. Sosok itu sudah memiliki rumah baru.

Suara tangis, isakan serta raungan tak hentinya pemuda itu suarakan. Sesak, napasnya tercekat. Mengingat bagaimana sosok itu benar-benar pergi dari hidupnya.

Tangan pemuda putih itu mengusap lembut nisan dengan hati yang berdenyut nyeri. “Maaf ... Gemta salah, maaf ....”

Berkali-kali ia menyeka air mata, menulikan telinga saat sang ayah mengajaknya untuk pulang. Sungguh! Gemta ingin berlama-lama melihat gundukan tanah yang basah serta dipenuhi dengan bunga-bunga cantik, membuatnya enggan beranjak, bahkan matanya pun tak niat berpaling.

Harsa, sosok pria yang sedari tadi menunggu anaknya bercengkrama dengan kesayangannya. Jujur saja, jika bisa ia hanya minta Gemta untuk tidak mengingat hal apapun yang menyakitkan dalam hidupnya. Cukup ia, ia yang akan menelan pil amat pahit ini.

Air mata ikut luruh dari balik kaca mata hitam yang ia pakai, menyeka perlahan air mata yang mulai membasahi pipi. “Maaf ... Maaf karena Papa tidak bisa menjaga kebahagiaanmu,” gumamnya.

Hati orang tua mana yang tak sakit melihat keadaan rapuh anaknya. Orang tua mana yang rela membiarkan anaknya merasakan kesakitannya sendiri, orang tua mana yang-- kecuali, jika itu adalah sosok yang dulu dengan tega me--

Lelaki setengah tua itu ikut berjongkok, mengusap perlahan punggung putranya dengan teratur. “Hari semakin gelap, lebih baik kita pulang, sayang.”

Penuturan sang ayah ditolak mentah-mentah oleh Gemta. Ia menggeleng, menatap Harsa dengan sorot mata tak rela. “Gemta nggak mau pulang, Pa. Papa nggak kasian ... nggak kasian liat adek sendirian di sini?” satu-satunya rasa yang paling mendominan dalam hatinya adalah rasa enggan untuk beranjak dari sana. Ia tak rela meninggalkan sosok adik kecilnya.

“Gemta nggak mau pulang, Pa. Adik Gemta nggak boleh sendirian.” air mata yang belum sempat terhenti terus jatuh membasahi pipi. Rasanya, tak pantas jika ia harus menghentikan tangisannya untuk saat ini.

Ini semua akibat ulahnya, jika saja itu tak--

Harsa merengkuh tubuh ringkih putranya. Ia ikut kalut dalam kesedihan ini, tangis yang semula hanya air mata belaka, kini isakan itu membersamai. “Maaf ... maaf karena Papa tidak bisa menjaga kebahagiaanmu, maaf ... maafkan, Papa, Son.”

Gemta tak menjawab, pikirannya bercabang. Mengingat masalah yang ia alami selama ini, ternyata cukup berat jika harus terus diingat. Sekelebat, ingatkan bergulir pada masa-masa bersama Angger. Apapun, kini sepertinya ia selalu mengingat anak itu. Bagaimana, serta siapapun yang ada dihadapannya, hatinya kini menuju pada sang adik kecil.

“Nggak mau! Abang, wangi,”

“Angger suka!”

“Abang! Mau gendong!”

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang