Fate?

4.5K 461 30
                                    

Happy reading everyone...

Aku kembali membawa cerita sakit, mungkin?

Jangan lupa tebar cinta untuk Angger.

Selamat menikmati apa yang ada.

*****





"Tuhan, Angger kan udah bilang. Kalau Tuhan pilih Angger, Engkau pasti keliru,” suara dengan isak tangis itu tak hentinya menyeru. Ia merasa dihianati oleh hidupnya sendiri. Dirundung pilu, diterkam kesedihan, ditusuk oleh kenyataan, dan dibunuh oleh penolakan.

Tidak ada lagi alasannya untuk hidup.

"Kalau Angger nggak lahir, ini nggak mungkin terjadi, kan?"

“Harusnya, Angger memang nggak terlahir!”

“Tapi, kenapa Tuhan pilih Angger yang terlahir?! Arggh!”

Monolog demi monolog terus keluar dari mulutnya. Berbagai pertanyaan selalu muncul di kepala, pertanyaan yang tak akan ada yang menjawab. Isi kepalanya heboh, heboh memikirkan masalah yang ternyata semakin rumit.

Ia tak peduli, sebanyak apa kendaraan yang melewatinya. Sesekali, mereka bahkan membunyikan klakson agar anak itu bisa minggir.

Istilah baru, hidupnya bagaikan rubik. Semua orang bisa menghancurkan bentuk rubik yang telah tersusun rapi, tapi tidak semua orang bisa menyusunnya agar rapi kembali. Hanya orang-orang tertentu dan mampu. Sekarang, apa Angger harus mencari orang mampu itu?

Atau, Angger sudahi saja hidupnya? Lagipula, ia juga tidak akan sanggup jika harus hidup sebatang kara.

Ahh, ia tidak bisa membayangkan. Hidup seperti kartun lebah kecil yang kehilangan ibunya yang sering ia tonton di yusup, Hachi namanya.

Ia terkekeh miris mengingat itu. “Hachi, sekarang lo punya teman senasib. Bedanya, lo nggak sengaja jatuh dan gue, sengaja dijatuhkan dan dibuang.”

Tungkai kecil anak itu terus berjalan, air mata yang terus jatuh kembali ia seka dengan punggung tangan. Kata orang, menangis bisa mengurangi rasa sakit dalam hati, tapi saat Angger menangis, kenapa sakitnya semakin terasa? Juga, semakin menusuk uluh hati.

Sejak masalah yang ia alami, Angger selalu berpikir. Ternyata peran orang tua itu sangat penting. Dalam segala hal. Mereka juga harus tau, bagaimana dampak jika saja rumah tangga tak sehangat dulu dan retak begitu saja, bukan hanya mereka yang terdampak, tapi juga pionnya.

Pion terluka, pion trauma. Pion juga menanggung semuanya. Baiklah, jika alasan orang tua di dunia saat berpisah karena sudah tidak cocok.
Jadi menurut mereka, sesuatu yang tidak cocok tidak bisa dicocokkan lagi? Bukankah air dan minyak saja bisa bersatu karena adanya zat emulgator. Jadi, bukankah mereka bisa menyatu juga karena adanya, pion?

Atau, lebih baik egois mengorbankan poin dari pada skakmat? Bukan kah pion harus egois? Untuk menahan sebuah perpisahan itu.

Isak tangis tak hentinya Angger suarakan, duduk dengan kaki berayun di atas jembatan. Sore ini suasana cukup sepi, ditambah dengan suasana mendung.

“Sekarang, Angger harus gimana? Mati?”

“Papa sama Ibun kan tau, adek nggak suka sendiri.” Murung, sendu tak bergemuruh.

Ia kembali berdiri, melihat luasnya hamparan sungai di bawah sana. Tinggi di tempat berdiri, membuatnya yakin jika sekali terjun, sudah membuatnya tak sadarkan diri, atau mati? Angger tidak yakin, tapi juga yakin. Yakin untuk terjun.

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang