Adik Gemta?

2.3K 313 18
                                    

Happy reading

Vote dan komen dong!

Happy 40k yuhuu, makasih buat semuanya ya guys, muahh ლ⁠(⁠´⁠ ⁠❥⁠ ⁠'⁠ლ⁠)

Enjoy ya ...
Masih enjoy sama ceritanya kan?

Main teka-teki dulu, yuk!

*****

Kaki-kaki kecil remaja berpipi bulat melangkah perlahan. Sekarang, ia sudah mandi, sudah minum juga sudah wangi, jangan dekat-dekat! lantaran Imge menyuruhnya untuk cepat-cepat membersihkan diri. Saat membuka mata, ia sudah tak menemukan Genta di sampingnya.

Alhasil, kali ini ia tak ingin membuang kesempatan emas untuk menyusup ke dalam kamar Gemta. Ia yakin, jika pemuda itu tidak ada di kamarnya, karena sekarang ia sudah berhasil masuk ke dalam sana.

Manik madu itu menelisik setiap sudut kamar. Ruangan yang begitu menenangkan, kamar bernuansa coklat muda dengan paduan coklat tua di sisi tertentu. Kasur yang di sebelahnya terdapat jendela geser yang begitu besar, uh ... Angger ingin tidur di sana.

Asik berjalan menyusuri tempat, ada satu yang paling menarik perhatiannya. Lubang yang menjadi akses untuk ke tempat yang Angger tidak tau apa itu.

“Apa Angger ke sana aja, ya? Tapi ... kalau bang Gemta marah, gimana?” tanyanya ntah pada siapa.

Berpikir cukup lama, hingga ia membuat keputusan. “Dah lah, naik aja. Kalau abang marah, kan tinggal ngadu sama ayah.”

Ia melangkah perlahan, menanjaki tangga kayu berpoles kilat yang ia jajaki. Ia terkesima seketika sampai pada tempat tersembunyi itu.

Menutup mulut tak percaya dengan apa yang ia lihat. Di atas sana, seperti kamar bayi. Banyak mainan bayi juga peralatan bayi lainnya, warna biru juga merah muda mendominasi ruangan itu.

Melirik setiap benda yang berjajar di sana. Memegang satu mainan yang berbunyi hingga ia tersenyum saat memainkannya. “Lucu, Angger boleh ambil nggak, ya?”

Kembali ia melihat seisi ruangan, hingga ia berhenti pada satu foto besar yang terpajang di sana. Semakin tak percaya saat ia benar-benar menelisik foto. Baju putih berliris merah di ujung baju serta topi merah yang dikenakan anak itu sangat mirip dengan foto yang terpajang di rumahnya.

“Kok bajunya kek punya Angger, ya?”

“Apa itu Angger?” ia semakin tak percaya, buru-buru ia mengambil ponsel miliknya dari dalam saku celana, mencari foto kecil miliknya. Benar saja, foto anak kecil itu mirip dengannya. Baju serta topi yang dikenakan saat mirip hingga detailnya.

Tapi, apa benar itu Angger? Lagi pula, baju seperti itu bukan hanya satu kan?

*****

Hari sudah berganti, bersama dengan bulan serta bintang yang kembali tidur pada tempatnya.

Pagi sekali, pemuda putih dengan mata bulat sedikit tajam itu duduk beralaskan rumput taman. Sejak terbangun di kamar sang adik, mendadak ia ingin menghirup udara segar pagi ini. Tubuhnya bersandar pada pohon besar di sana, cukup rimbun dan sesekali membawa angin menyapa si pemuda.

Pemuda itu, Gemta. Kakinya tertekuk dengan tangan yang setia memeluk, ia mencari kehangatan sendiri. Sedari tiga puluh menit yang lalu, tak ada hentinya ia menatap ke arah salah satu bunga kecil yang tumbuh di atas tumbuhan mimosa alias putri malu.

Angin yang menerpa membawa aroma pagi yang segar dapat ia hirup dalam-dalam. Suasana seperti ini mengingatkan dirinya pada satu situasi yang mengawali kehancuran hidupnya.

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang