Obsolete memory

8.3K 680 37
                                    

Happy reading guys

Nikmati apa yang ada ya....

Muahhhh

Tolong sayangi Angger!

*****


Pemuda yang kerap kali dipanggil dengan sebutan si anak manja itu berjalan lunglai. Melewati gang sempit menuju tempat ia berteduh.

Mata yang dulu terpancar sinar bahagia, kini terlihat redup. Tak ada segaris kebahagiaan yang tertanda.

Kaki yang tak terlalu jenjang dengan balutan celana jeans hitam itu tak hentinya berjalan, hampir satu kilometer jauhnya ia bertahan. Pemuda itu memijat pahanya yang terasa sakit, telapak kaki anak itu juga sudah mati rasa.

Perlahan namun pasti, ia terus berjalan. Napasnya terdengar berat dengan degup jantung yang kencang. Suhu tubuhnya memanas, kucuran keringat dengan tak sopan melewati pelipisnya.

"Sedikit lagi, lo pasti bisa Angger." Ia menyemangati dirinya sendiri. Ingin mengeluh pun tak bisa.

Memangnya, siapa mau mau mendengar, angin?

Senyumnya terbit, mata yang tadi sendu itu kini sedikit berbinar setelah melihat rumah singgah yang akan ia tempati sudah terlihat.

Tubuhnya terjatuh, tepat di depan rumah berukuran kecil buatannya. Seakan ingin membagi rasa lelah pada tempat itu.

Pemuda kemeja biru itu kembali berdiri, memasuki rumah yang memang tak memilikki pintu. Rumah yang terbuat dari potongan kardus serta atap yang hanya terbuat dari karung beras. Setidaknya, itu akan membuatnya terhindar dari terik matahari.

Meski saat hujan, rumah itu akan rubuh. Membuat tubuhnya yang tertidur lelap terbangun dengan badan basah kuyup serta menggigil kedinginan.

Bukan ia diusir. Namun, mulai kemarin ia tak ingin pulang. Rumahnya pasti sangat sepi, mengingat kedua orang tuanya sudah berpisah.

Memikirkannya? Tidak.

Mereka hanya memberinya uang yang dikirim melalui kartu yang Angger tidak tau bagaimana cara menggunakannya.

Percuma saja!

Tidak berguna!

"Rumah kardus." Ia mendengus seraya tertawa hambar, merebahkan tubuhnya di dalam rumah kardus itu. Kepalanya beralaskan botol air mineral, setidaknya itu akan terasa seperti mengunakan bantal.

Aah, di sana tidak ada guling. Angger sulit terpejam. Matanya merotasi, melihat langit-langit atap karung itu. Melamunkan hidupnya yang dulu cukup bahagia. Meskipun, hanya percakapan kecil-kecilan yang sangat melekat di kepalanya.

"Papa, sayang Angger nggak?" pekik Angger kecil. Ia duduk di pangkuan sang ayah, melihat wajah tegas itu seraya menangkup pipi ayahnya.

Pria itu mengangguk kemudian mengecup dahi Angger cukup lama, "Tentu saja. I love you more."

Senyum mengembang di bibir manis keduanya. Sang ayah memekik gemas, kala melihat gigi sang anak yang tampak gipis.

"Iihh, gigi adek kenapa, hm?" Pria itu menangkup wajah gembil itu, melihat lamat-lamat gigi si kecil yang mulai ompong.

"Kata Ibun, ini gipis, papa. Hehe." senyum dengan kedua pipi yang terhimpit tangan besar sang ayah tampak semakin lucu, membuat bibir kecil anak itu semakin maju.

"Pa, sekarang gigi Angger nggak gipis lagi." disentuhnya gigi rapi miliknya, mengabsen bahwa tak ada satupun gigi yang tampak rusak.

Angin malam mulai terasa sangat dingin. Pemuda itu refleks mengusap tubuhnya yang menggigil. Ia lupa, jika memiliki riwayat alergi dengan udara dingin.

Ahh, bodoh sekali! Lebih baik tadi ia pulang!

Merutuki kebodohannya sendiri. Ia hanya ingin bersembunyi dari rumah yang berisi kenangan bersama orang tuanya. Berharap jika mereka mencarinya. Setidaknya, ia ingin sedikit drama hingga dipaksa pulang dan ia akan berpura-pura tidak mau.

Percuma saja. Strategi yang sudah ia rancang berbuah sia-sia. Bahkan, mereka tak menanyakan kabar anak itu. Minimal nelpon kek! batin Angger.

Maaf, Angger bukan pemuda penurut. Bukan pemuda kecil yang selalu bertingkah manis. Namun, saat bersama orang tuanya ia bisa bertingkah manis.

Itu yang selalu membuatnya dipanggil dengan sebutan 'Anak Gandut' oleh orang tuanya. Sebutan sayang dari mereka. Ahh, Angger juga tidak tau itu kepanjangan dari apa.

Maka, jangan bertanya, oke!

Angger menghela nafas berat, mengusap tubuhnya yang mulai terasa gatal. "Kenapa harus, Angger?"

Lagi, pertanyaan yang tak ada habisnya ia layangkan pada angin. Tangan kecilnya meraih ponsel yang ada di saku celana, menggulir seisinya untuk mencari foto yang mungkin bisa membuatnya melepas rindu pada orangtuanya.

Senyum anak itu terukir jelas, kala melihat satu foto yang ayah dan ibu yang sedang mengecup pipinya. Sungguh seperti keluarga bahagia.

Sesaat, senyum itu luntur. Mengingat apa yang terjadi sekarang benar-benar membuat dirinya tak sanggup senyum lebih lama.

Sepertinya, ponsel itu memang lebih cocok untuk disimpan kembali pada saku celana, daripada harus melukai hari remaja itu, lagi.

Angger pernah dengar, jika senyum selama lima detik dapat menghilangkan sedikit luka dan masalah. Jadi, harus berapa lama Angger tersenyum agar masalah ini hilang?

Angger rasa, teknik itu sudah tidak ampuh lagi untuknya. Hatinya sudah hancur, bukan, bukan hancur, tapi lebur seperti bubuk. Tak berbetuk serta tidak bisa lagi diperbaiki.

Apa memang harus sehancur itu?

Anak manis itu terisak, berusaha terpejam agar bisa melupakan hari ini. Masih sama seperti kemarin, masih terasa berat, bahkan semakin berat.

Angger bukan anak yang bisa hidup sendiri, bukan anak yang pemberani, bukan mandiri. Dia anak manja, anak yang tidak bisa apa-apa jika bersama orangtuanya.

Tapi, sekarang Angger harus merubah itu. Ia harus bisa. Bisa tanpa mereka.

*****

Tbc

Jangan lupa vote dan komen guys...
Typo harap maklum^^

I lop u, i purple uuu

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang