Happy reading
Apa kabar gaiseeee?
Jangan banyak pikiran, tolongg!
Typo harap maklum!
So, enjoy yaa
*****
Suasana pagi yang seharusnya amat tenang untuk dinikmati berubah menjadi suasana panas bersitegang.
Dua lelaki dewasa yang duduk di sofa bersebrangan saling lempar pandangan sengit, lain hal dengan lelaki yang duduk di sofa tunggal, Harsa Maaghlita, ia asik tersenyum tipis melihat interaksi Asa Margaja dengan Imge, atau dengan nama asli Sasuasa.
“Aku akan membawa Angger pulang,” ujar Asa telak, ia seakan tak ingin dibantah sama sekali.
Imge berdecih, muak melihat wajah yang lebih muda. “Dulu saja sudah kau buang, lalu sekarang kau ambil dan akan kau buang lagi, begitu?!”
“Apa bedanya denganmu! Kau bahkan lebih keparat dari itu!”
Diam, Imge hanya diam. Mengetatkan rahangnya dengan gigi yang menahan kuat. Perkataan Asa benar adanya, ia memang keparat berkepala emas.
Keparat yang masih bisa bersembunyi dengan emasnya untuk mengelabui siapapun, aslinya ia adalah kotoran lalat yang amat menjijikan. Ia akui itu.
“Laki-laki dewasa yang tidak mau ber--” ucapan itu menggantung, tatkala Imge dengan keras menggebrak meja di hadapannya, meja yang menjadi saksi pembatas bagi keduanya.
Napasnya terengah-engah, ia paling tidak suka jika diingatkan pada masa mengenaskan itu. “Tutup mulutmu, Asa!”
Bukan hanya Imge yang tersulut emosi, Asa juga begitu. Tatapan bengis yang sedari tadi enggan ia putus semakin menancap tepat pada siluet besar di depannya. Ia ingin memaki, tapi sadar akan posisi diri yang terlampau usia lebih muda.
Harsa yang asik duduk di sofa tunggal menghela napas dalam. Ia bagai melihat anak kecil bersitegang. Saling melempar lontaran emosi bukanlah gayanya. Menurutnya, membicarakan suatu hal penting seperti sekarang adalah, duduk, tenang dan putuskan.
Sosok itu membuka suara, mengucapkan kata yang seketika merubah perangai Imge, “Bawalah, Asa. Ku beri kesempatan terakhir, Papa percaya padamu.”
Papa, sudah lama rasanya ia tak menyebutkan kata itu pada Asa. Dulu ... sangat dulu sekali, hampir empat belas tahun yang lalu, sebelum mereka hilang di kota yang mereka tempati. Harsa tak lagi bisa bertemu Asa, pemuda yang dulu sempat menjagakan putra kecilnya. Pemuda yang setelah itu selalu mengeluh ingin memiliki bayi, pemuda yang terlampau muda darinya.
Imge tampak tak terima, ia menatap Harsa dengan tingkat kepercayaan yang merosot. Ia menggeleng, lalu berujar, “Tuan ... tidak Tuan, aku tidak ingin jauh dari putra--”
“Maaf Kak Imge, tapi Angger putraku!” sela Asa begitu cepat. Seakan enggan putranya diakui oleh orang lain.
Asa akui, sebelum pergi mendatangi kediaman Harsa dan menghubungi si pemilik kediaman, ia begitu gugup. Merancang segala gelagat yang tak menimbulkan kecurigaan.
Ini adalah pertama kali ia bertemu dengan keluarga Maaghlita setelah sekian lama, juga setelah kejadian penyerahan bungsu mereka.
Harsa mengangguk, tatapan Imge begitu rapuh, ia sangat paham akan hal itu. Senyuman tipis yang amat teduh ia hadiahkan, terlampau kasihan dengan sosok yang kini menatapnya penuh permohonan.
“Biarkan Asa membawa Angger, Ge. Dia ayahnya, dia berhak atas itu.”
Tidak bisa dipercaya, Harsa begitu mudah melepaskan Angger. Imge tidak tau apa yang ada dipikiran lelaki itu, sangat sulit untuk ia terka. Bahkan, hatinya bagaimana saja Imge tidak paham.
“Tidak! Aku tidak akan setuju! Angger putraku, Tuan!”
Manik tajam yang kini tampak merah menahan amarah, Asa tidak terima Imge bicara dengan lantang, menyuarakan jika Angger adalah putranya, bagi Asa, itu memuakkan. “Angger Putraku! Hanya milikku!” ucapnya menegaskan.
Berbeda dengan ruang tengah yang kini terasa panas. Di belakang kediaman Maaghlita, taman belakang yang menjadi titik tempat ternyaman seorang Gemta.
Ia duduk manis di atas ayunan menjuntai, ditemani dengan sosok kecil yang berada di pangkuan.
Berayun santai seraya menikmati hembusan angin yang menyapa, cukup menenangkan.
“Abang tidak tau kalau Angger anak Om Asa yang itu.”
Kaki yang tak terlalu jenjang itu terus bergerak, kepala yang ia tumpukan di atas kepala Angger menatap lurus ke depan.
“Memangnya, abang kenal sama Papa?”
Gemta mengangguk pelan. “Tentu saja, Om Asa adalah Super Hero bagi abang.”
Angger mengangguk seraya mencebik bibir, “Padahal, Papa itu taunya cuma kerja, terus ... main deh sama Angger, tapi ternyata, Papa ada yang kenal, ahaha,” kelakarnya.
Ucapan Angger tak ada yang meleset. Asa adalah sosok ayah yang amat baik untuk Angger. Bagaimana pun sosok itu selalu menyempatkan diri untuk bermain dengannya, meski dalam keadaan lelah sekalipun. Perlakuan kejam yang pernah lelaki itu lakukan tak dapat menutup betapa besar pengorbanan Asa dalam benak putranya.
Angger memutar tubuhnya, memeluk Gemta seraya menghirup aroma tubuh sang abang dalam-dalam. Jika saja Asa benar-benar akan membawanya pulang, mungkin ia akan amat merindukan aroma ketenangan ini. Ntah pewangi apa yang Gemta pakai, tapi Angger sangat menyukainya.
Ia mendongak, setelah meninggalkan jejak gigitan pada dada Gemta. “Abang kenapa bilang kalau papa Angger Super Hero?”
Gemta ikut menatap manik bulat Angger. Mata yang amat candu untuk terus ditatap, mata yang selalu mengunci pandangannya.
“Angger ingin tau, hm?”
Anak itu mengangguk antusias, semakin erat memeluk tubuh si bungsu Maaghlita. “Banget ... mau tau banget!”
Pemuda itu terkekeh kecil, mengusakkan hidung mancungnya dengan milik sang adik. “Tanya saja pada papa Asa,” ujarnya diakhiri kecupan manis di kening Angger.
Lebih baik jika suasana akan seperti ini. Hilir angin yang membawa senyum juga kesejukan yang sangat disayangkan jika menghilang.
Gemta berharap, ini tak akan pernah berakhir.
Apakah bisa?
*****
TbcKenapa Asa jadi Super?
Kira-kira, Angger bakal ikut papa Asa ga sih guys?
Double lope and purple u, muahhʕっ•ᴥ•ʔっ
KAMU SEDANG MEMBACA
Angger
Teen FictionSemua bermula saat orang tuanya berpisah, hidup sendiri tanpa ada yang mengasihani. Hidupnya berubah 180°, ia ingin menyerah, tapi tidak kunjung mati. Sampai di mana, ia ingin mengakhiri semuanya. Tidak menolerensi penjiplakan! Jika menemukan cerita...