Baby boy

1.4K 184 9
                                    

Hallo my honey

Happy reading

Enjoy ya ...

Masih enjoy kan?

Typo harap maklum

*****

Imge memacu mobilnya dengan santai, sesekali ia melirik ke arah kursi penumpang. Melihat sosok kecil yang nyaman berada di dekapan Gemta.

Maniknya kembali menatap jalan, meresapi perasaan yang tak karuan hancur kala Angger berujar dengan gamblang, bahwa ia ingin bersama dengan papa kandungnya.

Gemta, pemuda itu tak habisnya mengusap punggung sang adik, anak yang kini duduk dipangkuan seraya bersandar di dadanya. "Adek bobok, ya, nanti kalau udah sampai, abang bangunin." ditepuknya pundak itu dengan lembut.

Tersenyum tipis kala melihat Angger yang mulai memejamkan matanya. Ia tercekat, saat tangan besar menyandarkan kepalanya pada pundak seseorang.

"Adek bobok juga, nanti abang bangunin," Marell berujar.

Marell paham betul, bagaimana sakit yang terselip dalam senyum adiknya barusan. Rasa tak rela yang juga tak mampu ia hilangkan dari relungnya. Dikecupnya pucuk surai Gemta, kemudian mengusapnya dengan lembut.

Gemta menurut, seperti biasa ia tak pernah membantah sedikitpun. Memejamkan mata dengan air mata yang ikut luruh.

"Jangan nangis, kita masih bisa jenguk Angger setiap hari, sayang," ucap Marell kala merasakan kemejanya sedikit basah. Tak ayal, bagaimana pun ia membendung air mata yang ingin jatuh, kini juga sudah turun dengan pelukan yang semakin erat pada kedua adiknya.

Memejam mata, menikmati jalannya air mata yang semakin jatuh ke pipi. Bagaimana pun ia mencegah Angger, ia tidak memiliki hak lebih akan hal itu.

Jujur saja, rasa amat sayang sudah merasuk dalam benaknya. Sejak melihat anak itu tersenyum, membuatnya semakin gencar untuk tak melunturkan senyuman Angger, bahkan segaris pun.

Sedang orang di ujung sana, tepat pada mobil yang berbeda. Namun, menanggung rasa sakit yang sama. Harsa Maaghlita, juga putranya, Difkie.

"Apa Papa yakin?"

"Sudah pilihan Angger, sayang. Papa tidak bisa menolak."

Difkie mengangguk dengan senyum yang ia paksakan. Rasa bersalah mengenai jungkat-jungkit masih melekat di kepala.

Bodohnya, ia berpikir jauh, dan ... mengapa sampai seperti ini?

****

Sosok lelaki tampan yang masih terlihat muda membenahi kamar bernuansa ungu muda. Kamar yang sudah lama tak ditempati oleh sang empu.

Sejak mendapat pesan jika putranya akan pulang, ia bergegas kembali dari kegiatan belanjanya untuk mempersiapkan sambutan baik.

Tangannya menepuk-nepuk kasur yang kini di pakaikan sprei bergambar tupai lucu, senyum dengan sudut mata mengecil dapat menggambarkan bertapa bahagianya seorang Harsa Margaja, atau yang kerap dipanggil Asa.

Menyambut sang buah hati yang beberapa waktu ini belum ia rengkuh. "Welcome my baby boy," tak hentinya ia tersenyum, amat manis yang tergambar.

Menepuk-nepuk tak ada habisnya, perasaan yang amat takut jika tempat yang telah ia sediakan tersinggah debu. Pikirannya ingat betul, bagaimana anak itu akan bersin saat terkontaminasi.

"Apapun untukmu, baby boy."

Ia beralih untuk duduk, memeriksa ponselnya yang sejak detik lalu bergetar menuntut untuk dilihat.

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang