Cokelat!

2.8K 279 11
                                    

Happy reading!

Maap typo ...

Vote!

Komen!

Oke, makasih

Enjoy yaa

Bye!


*****


Ruang keluarga malam ini tampak begitu ramai. Keluarga Maaghlita berkumpul malam ini. Bahkan, Marell dan Difkie yang biasanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, kini ikut berkumpul. Saling bertukar cerita, menebar tawa sambil menikmati tontonan keluarga malam ini.

"Makan yang lain," ujar Difkie mengambil cokelat yang baru saja Angger pegang.

Angger berdecak sebal. "Bang Difkie, Angger itu maunya cokelat, nggak mau yang lain!" bantahnya seraya menggeleng.

"Nggak! Nggak boleh, ntar alergi kamu kambuh lagi."

Remaja kecil itu mendengus. Menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Imge, memeluk tubuh besar itu dari samping. "Om besar, Angger mau cokelat, sedikit ... aja," pintanya.

Imge mengalihkan pandangan dari tv, melihat cokelat yang ada di tangan Difkie. "Beri saja, Tuan Se," ujar lelaki itu yang membuat Difkie membelalakkan matanya dan Angger yang sudah memekik girang seraya menjulurkan lidahnya.

"Boleh kan, wlek!"

"Agar alerginya kambuh, kalau nangis dan merengek tidak perlu diperdulikan," lanjut Imge santai.

Angger sontak terduduk, binar bahagia tadi telah hilang, menatap tajam ke arah pengasuh tampan itu. "Om besar kok gitu sih?! Harus perduli dong! Mau banget ya kalo Angger mati?! Makanya nggak diperdulikan gitu, iya?!"

Anak itu tidak terima jika mereka tidak peduli padanya, tidak lucu bukan jika meninggal hanya karena makan cokelat?

Padahal, siapa mereka?

Beberapa lelaki yang ada di sana mendengus. Padahal, awalnya anak itu yang ingin memakan cokelat dan saat diberi, ia malah marah-marah tidak jelas.

"Bukannya itu yang kau mau, Angger?"

Angger menoleh, melihat ke arah sofa yang berada di belakangnya. Itu Harsa, papa angkatnya yang bicara.

Harsa membalas tatapan tajam Angger yang tampak lucu itu. "Kenapa, memang itu maumu kan?"

"Karena itu kau tidak mau dilarang, hm?"

Remaja kecil itu mengerucutkan bibirnya, berdiri dengan menghentakkan kakinya kesal. "Angger itu cuma mau cokelat, pah! Bukan mau mati, gimana sih?" ujarnya julid.

"Coba katakan lagi, Angger. Saya ... Siapa?"

"Pah? Papa? Ayo katakan lagi," pinta pria itu seraya mendudukkan Angger di atas pangkuannya. Senyumnya manis, sungguh manis saat mendengar Angger memanggilnya papa. Ada desir hangat di hatinya.

Angger menutup mulut rapat-rapat dengan tangan kecilnya. Menggelengkan kepala tanda tak mau.

"Ayo, katakan saja," titah pria itu lagi.

"Nggwak mahwu," bantah Angger tak jelas.

Empat pria lain di sana hanya melihat interaksi kedua lelaki berbeda usia tersebut, terlebih Gemta. Pemuda berkulit susu itu sudah duduk di atas pangkuan Marell seraya menerima suapan keripik kentang.

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang