Epilog

2.2K 207 37
                                    

Hallo my honey

Happy reading ya

Tidak terasa, sudah sampai epilog saja, ehehehe

Enjoy yaa

Typo harap maklum:)

*****

“Sayang, ini Papa, Nak. Anak gandut Papa belum mau buka mata, hm?”

“Nyenyak banget anak Papa tidurnya, ya? Mimpi Angger indah banget, iya sayang? Makanya anak Papa belum mau bangun, hm.”

Diusapnya punggung tangan yang tergolek lemah itu. Berkali-kali ia berusaha menahan air mata yang hendak keluar. Namun, lagi-lagi bulir bening itu jatuh membahasi pipi. Teramat sakit baginya saat melihat sang putra sematawayang terkulai lemah seperti saat ini.

“Maafin Papa ...” Lagi dan lagi, perkataan itu yang keluar diakhir perbincangan mereka hari ini.

Pikirannya berkilah, mengingat penjelasan Difkie tiga hari lalu mengenai kondisi anaknya.

Kondisinya tidak dapat dikatakan baik, Angger ... koma.” Bukan hanya Asa yang merasakan sakit kala lontaran otu keluar, bahkan Difkie pun merasakan hal yang sama.

Bagaimana perasaannya melihat remaja seperti Angger harus mengalami hal seperti itu. Ligamen otot yang robek, tulang rusuk patah, juga fraktur di kepala akibat hantaman benda tumpul. Beruntung, sungguh beruntung! Angger masih bertahan.

Bersyukur, Om membawa Angger tepat waktu, ada beberapa luka juga fraktur yang bisa sembuh dengan beberapa pengobatan, tapi ... tidak untuk paru-parunya.”

Lagi, tetes air mata jatuh membasahi. Kepala Asa bak memori rusak yang terus memutar keadaan putranya. Bahkan, untuk tidur saja ia tak tenang, makan juga tak lagi berselera, yang ia pikirkan hanya putranya.

“Cepat bangun, hm. Papa rindu anak Papa yang bawel,” ujarnya.

Asa beranjak dari sana, mengingat waktu jenguk di ruang ICU tak memiliki waktu yang lama. Angger masih butuh perawatan intensif hingga kondisinya memungkinkan untuk keluar.

Hati siapa yang tak sakit melihat putranya, anaknya, menahan sakit sendirian. Terbaring lemah dengan berbagai selang penunjang hidup yang tertempel di tubuh.

Rasanya, mata Asa kembali memanas saat melihat mulut ternganga sang anak akibat alat bantu untuk menyalurkan makanan agar ia tetap mendapatkan nutrisi. Mulut yang dulu sangat gemar mengunyah jajanan ringan, kini tak lagi bergerak.

“Papa tunggu di luar, hm. Good night jagoannya Papa.”

Setelahnya Asa benar-benar beranjak dari sana. Bukan tak ingin berlama-lama, hanya saja ia amat terenyuh jikalau terus melihat kondisi putranya.

Jika ia bisa meminta, ia ingin membagi sakit Angger untuknya.

Kaki jenjangnya terus menapak pada lantai putih di sana, terduduk lemah di kursi tunggu yang menjadi tempat penumpuh ia beberapa hari ini. Ia hanya akan pulang untuk membersihkan diri, dan kembali lagi untuk menatap pintu ruang ICU.

Satu tepukan pada pundaknya ia rasakan, ia menoleh. Dapat ia lihat Harsa yang sudah mengambil duduk di sebelahnya. “Pa ...”

Harsa tersenyum pahit, ia tau betul bagaimana perasaan Asa saat ini. Ia juga merasakan hal yang sama, terlepas Angger putra kandungannya atau bukan. “Angger anak kuat, dia akan baik-baik saja.”

Asa mengangguk pasrah. Bagaimana setiap manusia yang menghampirinya berkata demikian, jika yang mengalami saja tidak bisa dikatakan baik. Keadaannya yang jika saja saat sadar tidak akan seperti semula.

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang