Wrong?

3K 334 100
                                    

Happy reading

Udah nggak ada peringatan lagi, capek gue!。⁠◕⁠‿⁠◕⁠。

Bye!

Enjoy!

Have fun...

Muah

*****

Suasana di ujang sana, rumah megah yang banyak ditumbuhi pohon serta bunga-bunga cantik.

Seorang remaja kecil asik berkutat dengan buku juga pulpen di tangannya. Menuliskan sebuah catatan hal yang perlu ia lakukan dalam beberapa hari ini. Duduk manis di kursi tempatnya belajar. Suasana biru pada kamarnya menambah sensasi tenang baginya.

“Sekolah lagi, cari tau cara ambil uang, terus ... beli hadiah,” gumamnya membaca kembali tulisan di kertas sedikit kuning tersebut. Sepertinya, sudah tidak ada yang tertinggal.

Ia meletakkan pulpen serta menutup bukunya, dengan semangat ia berkata, “Sekarang, mau tanya bang Gemta dulu ah, siapa tau bang Gemta bisa, hihi.”

Remaja kecil itu beranjak, membuka perlahan pintu kamarnya. Namun, matanya terbelalak saat melihat sosok yang ingin ia temui.

“Pst! Bang Gemta, pst, pst!” panggil remaja berkulit putih itu saat Gemta baru saja melintas di depan kamarnya.

Gemta menoleh, melihat Angger yang melambai memanggilnya. Tanpa berpikir dua kali, ia mendekati si adik angkat.

“Buruan ih! Lama banget sih bang Gem!” sungutnya tak sabaran.

Pemuda yang dipanggil tidak memperlihatkan ekspresi apapun. Hanya berjalan mendekat dengan santai tanpa memperdulikan pekikan Angger.

Tepat setelah Gemta mendekat, Angger menarik tangan pemuda itu agar masuk ke dalam kamarnya. Mendudukkan Gemta di atas kasur dengan gusar.

Angger bersila, menatap Gemta dengan senyum yang Gemta tidak tau artinya.

Dengan kerutan di dahi, Gemta kemudian bertanya, “Ada apa, Angger?”

Remaja itu berdecih, memutar bola matanya malas. “Abang itu nggak tau ya? Kalo orang udah senyum manis gini berarti ada maunya!”

“Gimana sih?!” dengusnya kesal.

Yah, begitulah Gemta, ia tidak pernah mengetahui kode-kode semacam itu, yang ia tau adalah kode kartu hitam milik keluarganya. Simpel, tapi sangat menguntungkan. Benar?

“Ma-maaf, aku ... Aku tidak tau, Angger,” kata si pemuda itu.

Angger menghempas angin, kembali menatap Gemta. “Udah gapapa bang. Emm ... Bang.”

Gemta berdehem sekilas. “Ada apa? Katanya saja apa maumu.”

Remaja berpipi gembil itu merogoh saku celananya setelah mendengar ucapan Gemta. Ia mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam pemberian sang ayah yang belum pernah ia gunakan.

Ia mengacungkan kartu itu pada Gemta, lalu bertanya, “Abang ... Bisa bantu Angger ambil uang dari sini, nggak?”

“Angger tuh pengen beli sesuatu,” ujar anak itu menjelaskan.

Gemta mengangguk. “Bisa, kapan kau mau ambil?”

“Hari ini!” pekik Angger terlalu semangat.

Gemta terkekeh lucu melihat Angger yang begitu semangat, tapi setelah itu ia mengernyitkan dahinya, kemudian menatap penuh telisik ke arah Angger. “Tapi, kau mau beli apa? Dan ... Untuk apa?”

AnggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang