DUA PULUH DUA

26 9 4
                                    

Hari kedua Qila di Indonesia, ia memilih merefresh diri dengan mengunjungi sebuah taman yang ada di dekat Simpang Lima Gumul Kediri. Ia rindu dengan suasana-suasana di tempat asalnya. Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat.

Tujuannya saat ini adalah sebuah pohon rindang yang ada di atas bukit. Ia akan menatap keindahan taman dari atas sana.

Di sela-sela langkahnya, ia tak sengaja menendang sebuah bola yang entah bagaimana sudah berada di ujung kakinya.

Tak terlalu jauh, Qila melangkahkan kakinya kembali mengambil bola itu. Khawatir jika pemilik mencari bola itu. Tak berselang lama, seorang gadis kecil dengan rambut yang dikuncir dua datang menghampiri Qila.

"Tante, itu bola Aina." Ucap gadis kecil itu.

"Eh," Qila menolehkan pandangannya menatap gadis kecil yang kini didepannya.

Gadis yang familiar di penglihatan Qila, namun ia tak ingat kapan ia bertemu dengan gadis ini. Lagi pula, ia baru kemarin pulang dari Amerika.

"Ini," Kata Qila sembari menyerahkan bola itu kepada pemilik asli.

"Tante cantik," Tanya gadis itu.

"Makasih sayang, kamu juga cantik. Kamu kesini sama siapa?" Tanya Qila.

"Makasih tante, Aina kesini sama Amma sama Abba. Mereka lagi disana." Jawab gadis itu disertai isyarat tangan menunjuk ke sebuah tempat di ujung bukit.

Mengikuti arah tunjuk Aina, Qila dikejutkan dengan seorang pria yang berjalan mendekat ke arahnya.

Ia memang sudah berpisah 7 tahun, tapi tidak membuat ia lupa dengan sosok itu. Sosok yang terus menerus menghantui pikirannya, sosok yang selalu saja membuat hidupnya tak tenang saat ingin kembali. Dan sekarang, sosok itu benar-benar kembali hadir, kembali ia temui dengan nyata.

"Zean?" Gumamnya pelan. Sangat pelan hingga tak ada yang mendengarnya.

"Abba" teriak Aina dan kemudian berlari ke arah pria itu.

Tak salah lagi, Aina adalah anak dari Najwa dan Zean. Anak perempuan yang sering kali Najwa tunjukkan kepadanya, anak perempuan yang menjadi bukti cinta Najwa dan Zean, juga anak perempuan yang menjadi bukti bahwa sudah tidak ada lagi nama Qila di hati Zean.

"Anak Abba, mainnya jauh sekali. Abba khawatir." Sayup-sayup Qila mendengar Zean berkata menasehati Aina.

"Maafin Aina, Abba. Tadi Aina ambil bola Aina yang menggelinding." Zean tersenyum, "gak papa, lain kali bilang ya." Ucap pria itu dengan senyumannya.

Qila menggelengkan kepalanya, ia tak boleh kembali larut dengan perasaannya yang salah. Ia pasti bisa bersikap biasa.

Qila membalikkan badan pergi dari tempatnya, namun langkahnya kembali terhenti karena sebuah panggilan.

"Assalamualaikum, Qila." Kata Zean saat sudah berada di belakang Qila yang belum juga membalikkan badannya.

Membalikkan tubuh, "Wa'alaikumussalam" jawab Qila dengan pandangannya yang tertunduk.

Mulut mungkin bisa berbohong, tapi tidak dengan mata. Dan Qila takut Zean bisa menyadarinya.

"Kamu sudah pulang dari Amerika?." Tanya Zean lagi.

"Sudah."

"Saya ada urusan, saya duluan. Assalamualaikum" Kata Qila mencoba mengakhiri kontaknya dengan Zean. Berlama-lama dengan pria itu akan menyakiti hatinya kembali.

Berbeda dengan Qila, Zean justru mengernyit. Gaya bicara Qila berbeda dari sebelumnya. Kenapa?

"Gak mau ketemu Najwa dulu?" Tanya Zean kembali menghentikan langkah Qila.

Akhir Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang