ENAM BELAS

44 10 3
                                    

~Saya ingin memelukmu, untuk menenangkan mu Qila. Tapi dirimu bukan milikku, dan memelukmu bukan hak ku~

Qila termenung di kursi panjang yang ada di taman kampus sendirian, Mahveen dan Lavanya sudah pulang karena ada acara.

Mengingat perkataan Najwa tadi pagi, Qila harus sedih atau bahagia?

"Ku kira rasa ini akan hilang seiring berjalannya waktu. Seperti terkikisnya batu ketika di timpa air hujan setiap harinya." Ucap Qila bermonolog.

"Tapi kenapa 1 tahun lebih aku disini, menjauh untuk melupa. Tapi ternyata, rasa ini tak kunjung hilang." Gumamnya lagi.

"Berapa kali kamu ditampar kenyataan Qila? Berapa kali kamu dilukai oleh kenyataan? Harus dengan tamparan apalagi agar kamu bisa sadar?"

"Bodoh Qila, kamu bodoh. Buat apa kamu terus berharap? Sadar Qila dia sudah dimiliki orang lain, sekuat apapun kamu berdoa, itu tidak akan merubah takdir.Dia milik orang lain. Dan selamanya begitu"

Qila menghela nafasnya kembali, ia capek dengan situasi seperti ini. Melupakan bukan soal mudah, membuang cinta tak seperti membuang sampah. Cinta memang rumit. Menjauh runtuh, mendekat pun tak lekat.

"Qila?" Suara dari arah belakang memanggilnya.

"Kak Azzam?" Qila kaget ketika menyadari Azzam lah yang memanggilnya barusan.

"Kak Azzam ngapain disini?" Tanyanya kemudian.

"Kamu yang ngapain? Nangis?" Kata Azzam. Ia duduk di samping Qila, tentunya dengan jarak yang tak dekat. Qila berada diujung kanan kursi dan Azzam berada di ujung kiri kursi.

"Ah, enggak kok Kak." Elak Qila.

"Jangan bohong Qila, mata kamu gak bisa bohong. Nangis aja kalau mau nangis, lepasin semuanya."

"Ingat, kamu baru saja sakit. Kondisi mu belum sehat seratus persen. Kalau kamu paksain diri kamu untuk menahan beban kamu, itu malah semakin menyakiti diri kamu sendiri." Sambung Azzam kembali.

Qila masih saja diam menundukkan wajahnya, rasa sakit yang ia rasakan sangat berat hingga menangis pun ia rasa tak sanggup.

"Saya memang tidak tau apa masalah kamu, tapi Insyaa Allah saya bisa menjadi pendengar yang baik."

"Banyak yang bilang, terkadang orang hanya butuh didengar. Dan mungkin itu terjadi denganmu." Azzam terus berusaha agar Qila mau melepaskan bebannya. Ia tak ingin melihat Qila semakin menyakiti dirinya sendiri karena masalah yang ia pendam.

"Orang yang aku cintai menikah dengan wanita lain. Sahabatku." Qila tiba-tiba saja berucap.

Dan kini Azzam yang diam, mendengar kata apapun yang akan keluar dari mulut Qila nanti.

"Dia sempat melamar ku di sekolah menjelang hari kelulusan."

"Tapi saat waktu yang ia janjikan melamar dengan resmi didepan orang tuaku hampir tiba, bukan dia dan keluarganya yang datang. Bukan jawaban yang akan mengubah hidupku yang aku persiapkan."

"Ternyata undangan pernikahannya yang datang, undangan pernikahan antara dia dan sahabatku." Air mata berhasil lolos dari kelopak mata cantik Qila. Ia sudah tak lagi sanggup menahan semuanya.

"Dia cinta pertama ku, dia laki-laki yang aku inginkan bisa membahagiakan aku dikemudian hari. Tapi ternyata, secara tidak langsung dia adalah sumber luka ku."

"Sekarang, kemungkinan besar sahabat ku hamil saat ini." Air mata Qila terus mengalir tanpa permisi, mengalir dengan deras sederas-derasnya layaknya air terjun.

"Kenyataan sudah berulang kali mengingatkanku, tetapi rasa harap itu selalu saja ada."

"Aku harus bagaimana Kak? Apa yang bisa aku lakukan?. Apa aku bisa melupakannya Kak? Disaat sahabatku selalu menceritakan kemajuan pernikahannya kepadaku." Tanya Qila pada Azzam. Ia mendongakkan sedikit kepalanya.

Akhir Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang