DUA PULUH DELAPAN

28 5 1
                                    

Qila merenung di kamarnya, waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 tapi matanya belum ingin terpejam. Tubuhnya disini, tapi pikirannya melayang kemana-mana. Entahlah, belakangan ini pikirannya semakin kalut. Masalah perasaannya dan Zean belum juga selesai meskipun setelah 7 tahun lebih tak bertemu tak bersapa. Di tambah pertemuannya dengan Zean di butik beberapa hari yang lalu.

Flashback on

Qila sedang bersandar di bangku kebesarannya, ia sibuk memikirkan ide yang akan ia gunakan untuk kemajuan butiknya.

Tok tok tok

Suara ketokan pintu ruangannya mengalihkan atensi Qila, "masuk saja." Jawabnya.

"Assalamualaikum." Seorang perempuan dengan seragam karyawan merah hitam juga hijab yang menutupi kepalanya datang menghampiri Qila dengan mengucapkan salam.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhh." Jawab Qila. "Ada apa?" Tanyanya saat karyawati itu sudah ada di hadapannya.

"Ada yang mau ketemu sama mbak Qila," kata karyawati itu membuat dahi Qila mengerut disertai alis yang bertaut. "Siapa?" Tanyanya.

"Kurang tau mbak, tapi katanya temennya mbak Qila." Jawab karyawati itu lagi.

"Oke, makasih ya. Bentar lagi saya keluar." Karyawati itu mengangguk dan pergi dari ruangan Qila sesaat setelah mengucapkan salam.

"Zean?" Panggil Qila saat menyadari pria yang ingin menemuinya adalah Zean.

Merasa dipanggil, Zean memutarkan kepalanya menghadap ke sumber suara. Wanita yang ia tunggu telah hadir di depannya, wanita dengan pakaian sederhana yang masih saja mengikat perasaannya.

"Ada apa?" Tanya Qila.

"Aku mau ngomong penting sama kamu." Jawab Zean.

"Silahkan." Qila duduk di single sofa di samping tempat Zean duduk tadi.

"Mana bisa disini?" Tanya Zean, apa pantas membicarakan tentang perasaannya di sini?

"Kalau gak mau, kamu bisa pergi." Qila tak mau ada fitnah nantinya, bagaimana jika ada kesalahpahaman jika ia dan Zean bertemu berdua.

"Ini tentang perasaanku." Ucap Zean menyerah,

"Gak ada yang perlu dibahas masalah itu, semua sudah selesai Zean."

"Belum, ini belum selesai, sama sekali belum. 7 tahun Qila kita gak bertemu tapi pikiranku masih tertuju padamu." Ucap Zean lagi.

"7 tahun kamu menikah dengan Najwa, seharusnya Najwa yang kamu cintai Zean bukan aku. Jadi, ku mohon lupakan aku dan bersikaplah seolah-olah kita tak saling mengenal jika bukan karena Najwa." Qila berucap dengan kepala yang tertunduk menahan tangis. Seperkian detiknya Qila beranjak dari duduknya hendak melangkah pergi dari hadapan Zean.

"Aku belum selesai Qila, aku tau aku sudah menikah dengan Najwa. Dan Najwa yang harusnya aku cintai, maka dari itu tujuan aku kesini untuk melepasmu dengan sebenar-benarnya melepas. Mengikhlaskan mu dengan ikhlas yang sesungguhnya. 7 tahun kita berpisah gak membuat rasa aku luntur begitu saja sama kamu Qila. Dan aku harap dengan aku ngomong langsung, semua akan semakin mudah." Qila masih berdiri dengan posisi yang hendak melangkah, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Zean.

Zean ingin melepasnya? Melupakannya? Dan mengikhlaskannya? Kenapa rasanya sesakit ini ya? Bukankah ini yang Qila mau?

"Terimakasih Zean, keputusan kamu itu yang terbaik. Aku harap kamu bisa mencintai Najwa jauh lebih besar dari cinta kamu buat aku." Kata Qila memaksakan senyumnya menghadap Zean.

Akhir Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang