DUA PULUH LIMA

30 6 2
                                    

Najwa meraba ranjang samping tempat tidurnya, kosong. Ia tak menemukan suaminya di sana. Dimana pria itu?.

Tangannya bergerak meraih ponsel di nakas sebelah kanan ranjangnya, pukul 02.30 dini hari yang tertera di layar ponselnya.

"Apa Zean lagi tahajud ya?" Pikir Najwa.

Ia turun dari ranjang dan beranjak berjalan menuju tempat dimana Zean sholat. Mengecek pria itu, benar di sana atau tidak.

Najwa memutar knop pintu ruang sholat sampai sedikit terbuka, sedikit mengintip ia dapat menemukan Zean yang lagi bersimpuh di atas gelaran sajadah. Dapat ia saksikan, suaminya sedang menangis disana. Menangis dengan begitu deras namun hening.

Najwa membuka bibirnya hendak bersuara, tapi ia urungkan. Ia tak mau mengganggu khusyuknya Zean saat berdoa, ia tak mau mengganggu waktu seorang hamba dengan Penciptanya.

"Najwa?" Panggil Zean ketika menyadari kehadiran Najwa yang ada di ambang pintu.

Najwa mengerjapkan matanya, dia belum sempat pergi tapi Zean sudah menyadari kehadirannya.

"Ngapain disitu?" Tanya Zean lagi karena tak ada pergerakan dari istrinya.

Najwa berjalan lirih ke arah Zean duduk di atas bentangan sajadah.

Sesampai di depan Zean, Najwa mengambil tangan Zean, menyalami tangan kekar itu dan ia cium sangat lama.

"Maaf, aku belum menjadi istri yang baik buat kamu." Ucapnya sambil meneteskan air matanya. Lebih dari tujuh tahun ia menikah, tapi Najwa merasa belum memberikan apapun untuk suaminya. Ia belum dapat dibanggakan sebagai seorang istri.

"Kamu sudah menjadi istri terbaik buat aku, Najwa. Terimakasih. Maaf atas kesalahan yang sering kali aku buat dan ulangi." Kata Zean meraih kepala Najwa dan mencium kening sang istri begitu lama.

Keduanya sama-sama menitikan air mata, sama-sama merasa bersalah.

"Mau peluk, boleh?" Pinta Najwa dan diangguki oleh Zean. Ia rengkuh tubuh ramping Najwa, tubuh istri yang selalu ia sakiti. Ia hujani wajah Najwa dengan kecupan-kecupan singkat di setiap pahatan indah wajahnya.

**********

Dua minggu sudah Qila kembali ke daerah asalnya, kesehariannya berbeda jauh dari dia di Amerika dulu. Sekarang ini Qila disibukkan kembali dengan butiknya yang  belum begitu besar. Butik yang ia rintis dari 0 kini akan segera direnovasi menjadi lebih besar. Ia akan mengembangkan bisnis kecilnya ini.

Qila memiliki 3 karyawan, 2 sebagai penjaga toko dan 1 sebagai pengantar ketika ada pesanan online di lokasi sekitar.

"Waktunya makan siang, di tutup aja butiknya sementara. Kita istirahat dulu." Ucap Qila kepada 2 karyawannya.

"Baik, Mbak." Balas mereka.

Qila kembali ke ruangannya, tidak seperti kemarin, kini Qila membawa makanannya sendiri dari rumah. Entahlah, mungkin ada sedikit trauma di dirinya. Bagaimana tidak, ia bertemu dengan orang yang tidak ingin ia temui. Dan itu, 2 sekaligus. Ditambah kenyataan bahwa Azzam dan Zean saudara sepupu. Sesempit inikah dunia?

Sesuap makanan hendak masuk ke mulutnya, namun segera ia urungkan karena suara dering ponselnya.

Tertera nama "Kak Syabil di layar ponselnya."

"Assalamualaikum, Kak. Ada apa?" Tanya Qila sesaat setelah teleponnya tersambung.

"Wa'alaikumussalam, Qila. Hari ini aku harus ke Surabaya."

Akhir Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang