TIGA PULUH ENAM

15 5 0
                                    

Qila menatap sebuah foto kenangan antara dirinya dan Najwa. Foto ini diambil saat hari pertama ia mengenal Najwa. Saat mulai memasuki pesantren dulu. Disana terlihat Qila dan Najwa tersenyum menghadap kamera dengan tangan yang saling merangkul.

Tak terasa airmata tiba-tiba lolos begitu saja dari kelopak mata Qila, ya ia menangis. Meratapi nasib persahabatannya dengan Najwa yang di ujung tanduk. Sejak dulu ia tahu, cepat atau lambat Najwa akan mengetahui rahasia yang ia dan Zean sembunyikan. Tapi, ia tak menyangka jika Najwa akan salah paham seperti ini.

Tangan Qila mengusap pelan foto itu, mengingat-ingat semua kenangan antara dirinya dan Najwa. Bagaimana cara wanita itu berbicara dan berperilaku. Semua terlihat sangat lembut. Berbeda dengan sekarang, Najwa tak lagi berbicara lembut padanya. Semua perkataan-perkataan buruk seolah terbiasa muncul dari mulut Najwa untuknya. Sebenarnya Qila memaklumi, pantas jika wanita itu kecewa berat terhadapnya. Tapi, ia kecewa karena Najwa tak mau mendengar penjelasannya sama sekali. Apa yang mereka lalui sedari dulu seolah hilang, lenyap termakan emosi. Qila benar-benar tidak mengenal Najwa yang sekarang.

"Pernikahanku dan Kak Azzam akan tergelar 2 bulan lagi. Masih ada waktu untuk aku pergi menjauh dari Najwa dan Zean." Gumam Qila pelan, ia berniat pergi sejenak. Bukan untuk lari dari masalah, sebelum kepulangannya semua baik-baik saja. Tapi setelah kepulangannya, hubungan Zean dan Najwa menjadi runyam. Ia yakin, akar permasalahan ada padanya. Bukankah jika ingin memadamkan api harus dipadamkan dari awal mula api itu datang?.

Qila meletakkan ponselnya, berjalan ke arah meja riasnya. Mengambil sebuah buku dan menyobek secarik kertas dari dalamnya. Ia juga mengambil sebuah bolpoin yang tertata rapi di tempatnya, menorehkan tinta-tinta itu ke dalam kertas putih hingga meninggalkan banyak jejak angka yang menjadi sebuah kalimat.

"Aku harap, semua bisa kembali baik-baik saja."

****************

"Najwa." Zean menghempas cengkeraman Akmal dan berlari mengejar istrinya. Najwa pasti salah paham lagi, padahal masalah yang lalu ia belum sempat menjelaskan.

"Najwa." Zean mencekal tangan Najwa menghentikan langkah wanita itu. "Dengerin dulu." Kata Zean lagi.

"Aku sudah denger semua dengan jelas, Mas. Dari mulut kamu sendiri. Kamu mengakui bahwa kamu masih mencintai Qila!." Najwa berucap dengan derai airmata yang terus mengaliri pipinya.

"Sebenarnya aku memutuskan untuk kembali setelah 4 hari merenung, aku ingin mendengar penjelasan kamu. Tapi sekarang aku rasa semua sudah jelas, tolong talak aku Mas." Sambung wanita itu, jujur hatinya berat melepas Zean. Tapi, menggenggam pun ia rasa sudah tak sanggup. Najwa seperti membawa sebuah duri, tangannya akan terluka jika terus menggenggamnya. Satu cara agar luka itu tak semakin parah adalah dengan membuang duri itu.

"Buat apa aku mempertahankan seseorang yang hatinya bukan untuk aku?." Kata Najwa lagi, sedangkan Zean masih terkejut dengan ucapan Najwa barusan. Semudah itukah Najwa meminta cerai darinya?. Bahkan Najwa tak memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Ia yakin, apa yang di dengar Najwa tadi bukan seluruhnya, ucapan yang ia katakan tadi belum selesai.

"Tolong Najwa, tolong dengerin penjelasan aku dulu." Pinta Zean lagi, "aku akan jujur sama kamu, putuskan semuanya setelah kamu mendengar penjelasan dariku." Zean terus memohon, berharap istrinya mau mendengar penjelasannya terlebih dahulu. Ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi dengan pernikahannya nanti. Meski setelah ini Najwa akan tetap memintanya bercerai ia ikhlas, ia sudah pasrahkan semuanya kepada Sang Pemilik Hidup.

"Oke, kamu mau jelasin apa?" Najwa melepas tangannya dari cekalan Zean, berjalan menuju salah satu bangku yang tersedia di taman itu.

Zean menarik nafasnya dalam, ia sudah siap menerima konsekuensi pernikahannya.

Akhir Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang