TIGA PULUH EMPAT

29 7 2
                                    

"Umma, kita mau kemana?" Aina bertanya kepada Najwa disampingnya, gadis kecil itu mengernyit kala jalan yang kini dilalui bukan jalan yang biasa.

Najwa mengangkat tangannya merapikan poni Aina yang sedikit berantakan"Kita mau ke rumah nenek dan kakek. Aina gak kangen sama nenek dan kakek?"

"Aina kangen, tapi kok Abba gak ikut Umma?" Tanya Aina kemudian.

"Abba masih ada urusan, besok kalau urusannya udah selesai Abba bakalan nyusul." Najwa terus memaksakan senyumnya, ia tak mungkin menangis di depan anaknya. Aina terlalu kecil untuk mengetahui permasalahan rumah tangganya.

"Gak papa kan?" Najwa kembali bertanya kala ada sedikit perubahan mimik wajah dari Aina, nampaknya gadis kecil ini kecewa.

"Gak papa Umma," kata Aina ikut tersenyum menampilkan deretan gigi susunya.

"Maafin Umma, sayang." Batin Najwa sembari terus mengelus rambut Aina sayang.

Tak butuh waktu lama, Najwa dan Aina sampai di sebuah rumah sinom dengan dinding yang berwarna putih salju. Di depan rumah ada sebuah taman yang ditanami banyak bunga indah yang memanjakan mata.

"Terimakasih Pak." Najwa berterimakasih kepada sopir taxi yang sudah menurunkan kopernya, dan setelahnya ia menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah. "Kembaliannya ambil aja, Pak." Katanya sembari melempar senyuman.

"Makasih, Mbak."

"Ayo, Aina." Najwa menggandeng tangan Aina memasuki pekarangan rumah orang tuanya. Ummi dan Abi pasti akan kaget melihat kehadirannya yang tiba-tiba, tapi mau bagaimana lagi ia tak tahu harus kemana.

"Ucap salam sayang." Perintahnya kepada Aina, Najwa selalu membiasakan anaknya untuk mengucapkan salam saat bertamu dimanapun. Jika tidak sedari dini kapan lagi? Dan jika bukan dirinya siapa lagi yang mengajari anaknya.

"Assalamualaikum," Aina mengucapkan salamnya menuruti perintah Najwa, ditambah dengan senyuman yang terus merekah di wajahnya menanti nenek dan kakeknya muncul membukakan pintu.

"Wa'alaikumussalam, loh cucu nenek ternyata." Saras membukakan pintu, matanya sedikit membola kala melihat anak dan cucunya berada di depannya.

"Nenek." Teriak Aina memeluk erat Saras.
"Cucu nenek yang paling cantik, nenek kangen banget." Kata Saras membalas pelukan cucu satu-satunya itu. Pandangannya beralih kepada sebuah koper di tangan Najwa. Lalu kembali melihat anaknya, mata yang memerah serta kantung mata yang semakin membesar sedikit menjelaskan bagaimana kondisi anaknya saat ini, ia yakin Najwa tidak baik-baik saja. "Masuk yuk masuk." Katanya mengajak Najwa dan Aina masuk, ia akan bertanya kepada Najwa nanti.

"Najwa langsung ke kamar dulu ya Ummi, gantiin baju Aina dulu." Kata Najwa berpamitan pada Saras.

Saras mengangguk, "sudah makan siang? Mau Ummi masakin dulu?" Tanyanya kemudian.

"Enggak usah Ummi, Najwa dan Aina sudah makan tadi. Ummi istirahat aja. Maaf ganggu Ummi tiba-tiba dateng." Najwa sedikit merasa tidak enak pada Saras, sebelum menikah maupun sesudah menikah ia selalu mengganggu waktu Umminya.

"Kamu ngomong apa, udah sana." Saras mengibaskan tangannya, memerintahkan Najwa untuk segera membawa Aina ke dalam kamar.

Saras masih diam di tempatnya, menatap Najwa yang kini berjalan menuju kamarnya. Kamar yang sedari dulu di pakai Najwa, baik saat masih remaja maupun setelah bersuami. Tatapannya tak teralihkan meski kini bayangan Najwa dan Aina sudah hilang karena memasuki ruangan berukuran 4×4 itu. "Semoga bukan masalah besar nak." Gumam Saras.

*****************

Qila duduk termenung di kursi riasnya, ia sedikit menyesali mengiyakan waktu 2 hari yang diberikan untuknya menjawab lamaran Azzam hari ini. Entahlah, ia sendiri tak yakin bisa memperoleh jawaban di waktu yang singkat itu. Tapi bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur ia tak mungkin meminta perpanjangan waktu. Kasihan keluarga Azzam dan Abi pasti akan marah padanya karena tak konsisten dalam memutuskan sesuatu.

Akhir Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang