DUA PULUH EMPAT

29 5 6
                                    

"Zean, lusa temenin aku ya." Kata Azzam memberitahu Zean. Saat ini mereka sedang ada di rumah Zean, Azzam tiba-tiba meminta bertemu dan datang ke rumah.

"Kemana?" Tanya Zean bingung.

"Lamar Qila."

Zean mematung dengan ucapan Azzam barusan, lamar Qila? Zean harus menemani sepupunya melamar orang yang ia sukai? Apa ia siap?

"Kenapa diem, Zean?" Tanya Azzam saat menyadari tidak ada jawaban dari Zean.

"Ahh, iya-iya. Lamar Qila ya?" Kata Zean kikuk. "Kenapa ajak aku?" Tanyanya kemudian.

"Cuma nemenin aja, aku belum ada percaya diri."

"Gimana?"

"Iya, aku usahain ya. Lusa kan?"

Azzam mengangguk mengiyakan, ia sudah yakin. Lusa ia akan benar-benar melamar Qila. Ditolak ataupun diterima itu masalah nanti.

Zean gusar, pikirannya kacau. Azzam akan melamar Qila lusa. Tak ada alasan untuknya melarang, ia tak berhak. Tapi apa ia sanggup? Rasa lama itu masih saja tersimpan di lubuk hati terdalamnya. Meskipun sudah 7 tahun ia tak bertegur sapa dengan Qila. Bahkan, ia juga sudah punya Najwa. Rasa itu masih ada, meskipun tak sebesar dulu. Ia belum rela jika harus melihat Qila bersanding dengan pria lain, terlebih lagi Azzam. Sepupunya sendiri.

Apa ini yang Qila rasakan dulu? Saat gadis itu tau bahwa ia akan menikahi Najwa, sahabatnya?. Ternyata rasanya sesakit ini. Apa alasan Qila ikhlas karena memang sesakit itu?. Digenggam pun akan semakin sakit, apa artinya ia juga harus melepasnya? Mengikhlaskannya.

*****

"Sebelumnya saya mohon maaf karena sudah mengganggu waktu pak Fadlan sekeluarga. Kehadiran saya beserta keluarga besar disini karena maksud ingin melamar anak pak Fadlan, Qila untuk anak saya, Azzam." Ucap Husain, ayah dari Azzam.

"Tidak apa-apa pak, kami sekeluarga senang dengan kehadiran bapak dan keluarga. Tapi untuk menerima atau menolak lamaran ini, saya serahkan sepenuhnya kepada anak saya. Bagaimanapun juga, anak saya yang menjalani." Jawab Fadlan menanggapi ucapan Husain.

"Bagaimana Qila?" Tanya Fadlan.

"Bismillahirrahmanirrahim, Qila terima lamaran kak Azzam." Ucap Qila.

Seluruh orang yang ada di ruang tamu rumah Qila bersorak "Alhamdulillah " dengan serentak.

Terkecuali Zean, pria itu masih saja menundukkan kepalanya. Berbeda dari ekspresi orang lainnya yang menampakkan raut bahagia, ia masih saja menampakkan raut sedih dan terlukanya.

"Qila, apa aku masih bisa berharap?"

*****

"Qabiltu nikakhaha watazwijaha bi mahril madkur haalan" ucap Azzam dengan satu tarikan nafas. Ya, pria itu kini sudah resmi menjadi suami dari seorang Qila.

Dengan langkah pasti, Qila menuruni tangga dengan dibantu Najwa yang ada disampingnya. Wanita itu sangat cantik dengan gaun pengantin yang melekat pada tubuhnya.

Mata Zean tak lepas dari seorang Qila yang saat ini turun dengan anggunnya, berjalan menuju Azzam yang kini berstatus sebagai suaminya. Perlahan, Qila menyalami tangan Azzam dan dibalas dengan kecupan singkat di dahi Qila.

"Harusnya aku yang menunggu kamu di bawah, seharusnya tangan aku yang kamu salami dan seharusnya aku yang mencium dahimu, Qila." Batin Zean bersuara.

"Apa sesakit ini yang kamu rasakan dulu, Qila? Apa karena ini kamu bisa melupakan aku? Karena luka yang terlalu dalam sampai tak terasa lagi sakitnya?. Maaf Qila, maaf karena rasa sakit itu. Maaf atas janji yang tak bisa aku tepati."

Akhir Sebuah KisahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang