"Sa, gue ke toilet bentar." Pamit Eleena pada Aksa yang tengah duduk di sebelahnya. Ke toilet adalah alasan klasik yang ia gunakan.
Muak! Iya Eleena muak. Dia pikir setelah ia menerima Aksa maka hubungannya dan Aska akan kembali seperti dulu. Tapi, ternyata Eleena salah besar. Ya! Eleena begitu menyesali hari itu.
Dia tidak pergi ke toilet melainkan ke dapur untuk menemui Aska yang tengah membuat minum.
"Ka gue mau ngomong."
"Ngomong, ngomong saja." Balas Aska santai sembari terus mengaduk coklat panas buatannya.
Sedikit kasar Eleena menarik lengan Aska agar laki-laki itu menghadap ke arahnya, "lo kenapa si Ka? Kenapa lo jadi malah tambah jauhin gue-"
"Gue nggak jauhin elo." Sambar Aska cepat.
"Jangan potong ucapan gue!. Lo pernah bilang kalau gue mau belajar mencintai Aksa lo nggak akan jauhin gue dan lupain soal ucapan gue tempo lalu. Tapi apa? Gue bahkan terima Aksa sebagai pacar gue di saat gue tengah belajar untuk mencintainya. Naas, semua itu nggak ada apa-apanya di mata lo"
"Bisa nggak sih lo nggak usah kekanak-kanakan?"
Prang
Suara banturan sendok dengan kramik yang cukup keras, tatapan yang begitu menusuk. Bahkan dengan jelas Eleena dapat melihat rahang laki-laki itu yang mengetat.
"Gue minta elo buat belajar mencintai Aksa bukan untuk terima dia jadi pacar lo!. Gue nggak pernah minta itu ya. Dan dari ucapan lo tadi gue menangkap satu hal,"
"Lo lakuin semua itu cuma demi ego lo? Cuma demi kita bisa kaya dulu lo tega nyakitin saudara gue El? Gue bilang jangan nyakitin Aksa tapi elo malah lakuin itu. Harusnya, lo nggak terima Aksa kalau cuma jadiin dia perantara doang!."
"El, lo nggak akan tahu sakit hatinya Aksa kalau tahu cewek yang dia cintai cuma manfaatin dia. Cukup! gue tegasin sampai kapan pun lo nggak akan bisa milikin gue dan kita nggak akan bisa seperti dulu sejak hari itu."
Aska tidak berpikir apakah ucapannya akan menyakitin lawan bicaranya atau tidak. Yang Aska tahu, dia hanya mengatakan apa yang ingin dia katakan. Aska tidak peduli pada air mata itu.
Sejujurnya Aska begitu merasa bersalah mendengar ucapan Eleena. Itu artinya dalam cerita ini dirinya lah yang jahat. Mungkin secara tidak langsung dia telah menyakiti dua orang yang ia sayangi.
"Ka.., gue nggak pernah minta buat lo balas perasaan gue. Gue sadar diri kalau gue nggak mampu untuk bersaing dengan Fahira sekalipun dia sudah tidak ada. Tapi, apa gue salah untuk kita tetap sahabat kaya dulu?"
"Apa gue salah Ka? Dan nggak pernah terlintas di otak gue untuk nyakitin Aksa."
Aska terdiam mendengar curahan Eleena. Coklat yang tadinya ia buat untuk di minum kini ia abaikan, sebelum berlalu meninggalkan dapur ada satu kalimat Aska yang membuat Eleena begitu sakit. Entah Aska sadar atau tidak ketika mengucapkannya.
"Jangan buat gue benci sama lo El."
__________🍀🍀🍀__________
"Harusnya lo nggak usah repot-repot nganterin aku pulang. Rumah aku kan dekat Sa." Aksa hanya melempar senyum tipis, tangannya sedikit meremas telapak tangan Eleena yang sedari tadi ia genggam.
"Nggak apa-apa. Nanti, kalau aku sudah pergi aku nggak bisa antar kamu pulang lagi." Lirih Aksa sembari menatap hamparan langit malam yang teras begitu kosong.
"Ka-"
"Kamu pasti mau bilang Aksa jangan pesimis, kamu bukan Tuhan, kamu pasti sembuh"
"Kata-kata kaya gitu sudah sejak lama aku dengar Nar. Aku cuma ingin bahagia walau cuma sebentar, dan kamu salah satu bahagia untuk aku Nar."
"Kadang, terbesit pikiran bahwa mungkin lebih baik aku pergi. Aku pasti nggak akan nyusahin banyak orang, ayah nggak perlu keluar uang banyak untuk aku berobat, bang Shaka nggak perlu banting tulang untuk kerja sambil kuliah atau Aska yang nggak perlu dapat surat peringatan karena sering bolos gara-gara nemenin aku yang sakit-sakitan"
Aksa memutar tubuhnya menjadi berhadapan dengan gadisnya. Wanita yang begitu ia cintai setelah bundanya. Entah kenapa, Aksa selalu saja cengen bila berhadapan dengan Eleena. "Terlepas tulus atau tidaknya, tapi aku ingin berterima kasih karena kamu mau menerima laki-laki yang penyakitan kaya aku. Maaf ya Nar.., kalau aku cuma bisa nyusahin kamu."
Tanpa ba bi bu gadis itu langsung mendekap tubuh lelaki itu begitu erat. Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya, sekuat tenaga jangan sampai air mata itu jatuh.
Katakanlah dia cengeng atau menye-menye. Namun, siapa yang tidak akan menangis mendengar perkataan seperti itu. Eleena juga lelah untuk terus menangis. Terendap rasa bersalah dalam hatinya.
"Nara semisal aku gagal membuat kamu jatuh cinta sama aku. Kamu bilang ya, jangan di lanjutin. Kasian nanti hati kamu, jangan pikirin aku"
"Aku nggak apa-apa kok."
"I am sorry.."
Aksa mengusap punggung Eleena lalu tersenyum begitu lebar hingga menampakan eye smile miliknya. "Ayo, nanti keburu malam. Nggak baik anak gadis pulang larut malam."
Sepanjang menuju rumah Eleena tidak ada percakapan di antara keduanya. Hanya kedua tangan mereka saja yang tidak ingin lepas sebelum sampai tujuan. Aksa tidak secara terang-terangan selalu memandang wajah Eleena dari samping, Eleena merasakan ada yang berbeda dari tatapan itu tapi mungkin itu hanya perasaannya saja.
"Akhirnya sampai."
"Mau mampir dulu ?" Tawar Eleena yang di balas gelengan dari Aksa. "Lain kali saja. Titip salam ya buat om sama tante, bilang dari calon manantunya."
Eleena tertawa kecil, mengacungkan kedua jempolnya dan mengangguk.
"Ya sudah sana pulang. Hati-hati ya."
"Kamu duluan masuk baru aku pulang."
"Oke, bye. See you." Aksa membalas lambaian tangan itu dengan senyum yang tidak luntur.
Berbeda ketika tubuh itu mulai menghilang di balik pagar senyum itu juga ikut hilang di gantikan ringisan pelan. Tangannya meremat dadanya yang terasa nyeri.
Aksa pikir apakah ia akan terus egois meski sakit di rasa atau menyerah begitu saja.
"Apakah aku setidak layak itu untuk kamu cintai Nar ?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendelion🍀
Fanfiction🍀FOLLOW LEBIH DULU! 🌿Abadi Dalam Kenangan🌿 Aksara Adyatama dan Askara Arkatama. Anak kembar yang kemana-mana selalu berdua, harus berdua kecuali kalau lagi pergi sama kesayangan. Kembar-kembar gitu mereka punya watak yang beda banget. Kalau kata...