Sedari tadi tidak ada yang Aska lakukan selain memainkan lampu belajarnya seraya menatap pada langit malam. Rasanya begitu bosan. Sepasang bola mata itu terus bergerak kesana kemarin demi mencari bintang yang paling terang.
Semua sama saja, rembulan yang paling terang sekali pun hilang tertelan gelap. Hingga derit suara pintu terbuka mengalihkan fokusnya.
"Baru pulang atau dari tadi?" Hal itulah yang Aska tanyakan. Sebab tidak mungkin mengantar Eleena sampai rumahnya hingga menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya.
"Baru saja." Aska tidak bertanya lagi. Lagian dia juga pernah kasmaran.
Saat Aska kembali fokus pada kegiatannya yang tidak penting sama sekali, sebuah suara mengistrupsinya. Siapa lagi jika bukan sang kembaran. "Gue denger obrolan kalian berdua di dapur tadi." Aksa diam sejenak menatap punggung Aska yang tampak tegang. "Apa gue semenyedihkan itu ya Ka? Sampai Eleena terima gue cuma gara-gara lo?"
"Gue pikir prasangka gue selama ini salah ternyata benar. Buat apa lo nyuruh El buat belajar mencintai gue padahal jelas-jelas dia cintanya sama elo Aska."
"Gue! Nggak perlu lo kasihanin."
"Jujur itu nyakitin gue banget Aska! Sama kaya El yang nggak bisa buat lo suka sama dia, begitu pula dengan gue yang nggak akan bisa bersaing sama lo. Semua rasa yang gue punya, itu percuma. Setulus apa pun gue itu juga percuma Ka karena yang dia mau itu elo. Bukan gue."
Aksa menumpahkan segala rasa kecewanya. Jujur dia sudah tahu sejak pertengkaran Aska dan Eleena di dapur tempo lalu, Aksa berani menyatakan perasaannya karena hal itu. Dia tidak berpikir bahwa Eleena akan menerimanya tapi jawaban gadis itu dulu sangat di luar ekspektasinya.
Aksa pikir bahwa gadis itu akan serius untuk belajar mencintainya tapi kenyataanya sungguh lucu. "El nerima gue supaya bisa baikan sama lo Ka?," lirihnya.
"Miris banget." Kekeh Aksa yang masih berdiri di depan pintu.
"Gue berani sumpah. Gue nggak pernah minta dia buat terima lo Sa, gue cuma minta dia buat belajar cinta sama lo. Dan gue mohon lo jangan salah paham-" Aksa berjalan menghampiri saudaranya yang masih duduk di kursinya. Aksa memaksa Aska untuk menatapnya.
"Salah paham mana yang lo maksud Ka? Jelas! Dia bilang dia terima gue cuma ingin baikan sama lo. Lo pikir gue apaan Ka?! Gue pernah bilang untuk nggak ikut campur masalah gue!"
"Lo pikir hati gue nggak sakit waktu dengar orang yang gue cintai bilang kaya gitu hah?!. Asal lo tahu lebih baik di tolak seribu kali dari pada di terima tapi cuma untuk di manfaatin." Bentak Aksa tepat di depan wajah Aska.
"Gue cuma mau lo baha-"
"Alah bullshit! Apa yang lo sama El lakuin benar-benar nyakitin gue Ka. Gue tahu, gue lemah, gue sakit-sakitan, selalu ngerepotin tapi gue nggak semenyedihkan itu ASKA!"
Aska hanya diam membiarkan Aksa meluapkan segala emosinya. Dia juga merasa bersalah. Dia tidak pernah memandang Aksa semenyedihkan itu, Aska hanya ingin Aksa mendapatkan apa yang ia ingin kan. Tapi Aska tidak tahu jika itu akan menyakiti saudaranya.
"Lo tahu kan alasan gue selalu minta lo buat jagain El? Tahu kan Ka?" Aksa memegang dadanya yang kembali berdenyut nyeri. Hampir saja tubuh itu menyentuh lantai tapi Aska dengan sigap menangkap tubuh itu dan mendudukkanya pada kursi yang tadi ia tempati.
Buru-buru Aska mengambil obat milik Aksa. Aksa menerima obat itu, meminumnya dalam sekali tenggak. Berangsur rasa sakit itu mulai mereda meski tidak hilang, jika Aska dapat menggatikan Aksa ia akan dengan suka rela menukar tubuhnya.
"Sa, gue minta maaf."
"Maaf sudah ngecewain lo, maaf.."
Aksa mengambil nafas dalam-dalam, membuang tatapannya ke luar jendela. "Sa, jangan diam saja. Gue minta maaf.."
"Keluar Ka. Biarin gue sendiri dan please jangan ganggu gue dulu."
"Sa gue minta maaf-"
"Keluar Aska! Gue nggak mau lihat wajah lo." Bentak Aksa tanpa sadar. Aska mengangguk kecil, "oke gue keluar. Kalau butuh apa-apa cari gue saja."
__________🍀🍀🍀__________
"Sayang, pagi-pagi sudah ada di dapur saja."
Aska menoleh sebentar tanpa menghentikan aktivitasnya yang tengah membakar sebuah roti, "lagi buat sarapan. Semalam katanya Aksa mau sarapan roti bakar."
"Oh ya?" Aska mengangguk penuh semangat untuk membuat Kanaya yakin.
Lamat-lamat Kanaya memperhatikan wajah putranya. Aska pura-pura tidak terganggu dengan tatapan itu, meski terlihat teduh apalagi di sertai senyum kecil tapi Aska tidak nyaman.
"Aska"
"Ya bun?"
"Semalam kamu nggak tidur ya?"
Aska tertawa sumbang lalu mengangkat rotinya dari panggangan dan meletakannya di atas piring bundar. "Tidur lah bun. Ya kali nggak tidur."
"Are you oke?"
"I am oke. Don't worry."
"Bunda mau roti bakar juga. Mumpung aku lagi bisa buatin, kalau nanti aku sudah nggak bisa buatin."
"Kenapa nggak bisa?,"
"Malas bun." Aska menunjukan deretan gigi putihnya membuat Kanaya geleng-geleng. Setelah roti bakar serta teh panas sudah siap Aska menitipkan itu pada bundanya.
Jelas itu membuat kernyitan pada dahi Kanaya tampak jelas, "aku ada kelas pagi bun. Jam 7, jadi aku harus berangkat sekarang. Makanya aku nitip ini ke bunda, Aksanya belum bangun."
"Tapi ini jam 6 saja belum ada. Memang kamu sudah mandi?"
"Ya ampun bunda. Bunda nggak lihat tampilan ku, sudah siap gini." Kanaya baru sadar, jika Aska sudah begitu rapi. Apa dia masih mengantuk.
"Sarapan"
"Aku sarapan di kantin saja nanti. Aku berangkat sekarang ya keburu di tungguin sama yang lain.",
"Ya sudah hati-hati. Jangan ngebut!"
Aska mengacungkan kedua jempolnya. Lalu menyalimi tangan bundanya tak lupa memberikan sebuah kecupan pada kedua pipi wanita itu.
"Bye bun."
Jam pagi itu hanya akal-akalannya saja. Nyatanya Aska sengaja berangkat pagi agar tidak bertemu Aksa, dia tahu jika manti sarapan bareng sedang ia dan Aksa masih diam-dieman itu akan membuat yang lain curiga.
Aska tidak ingin masalah di ketahui banyak orang. Mungkin nanti setelah pulang dari kampus ia akan mencoba berbicara dengan Aksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendelion🍀
Fiksi Penggemar🍀FOLLOW LEBIH DULU! 🌿Abadi Dalam Kenangan🌿 Aksara Adyatama dan Askara Arkatama. Anak kembar yang kemana-mana selalu berdua, harus berdua kecuali kalau lagi pergi sama kesayangan. Kembar-kembar gitu mereka punya watak yang beda banget. Kalau kata...