🪐🪐🪐
Setiap kehidupan, pasti ada yang namanya sebuah beban. Namun, kita harus bisa tetap menjalani hidup sesuai alur. Karena, semua akan membuahkan hasil maksimal.
🪐🪐🪐
"Gue mau dibawa ke mana, kak?" Auris tampak kaget, saat tiba-tiba Ravin menariknya dengan paksa.
Ravin hanya diam, masih menarik Auris tanpa mempedulikan perkataan gadis itu. Hingga, Ravin berhenti tepat di hadapan lima cowok yang sedang bermain basket. "Kayaknya lo emang ditakdirkan buat ngerepotin gue."
Setelah mengatakan kalimat sedikit nyelekit itu kepada Auris, Ravin kembali bergabung bermain basket dengan yang lain. Sedang, Auris masih berdiri bingung harus melakukan apa di tengah permainan basket itu.
"Tuan putri... Ayo ikut main." Levin berusaha mengajak Auris untuk bergabung dengan mereka bermain basket.
"Hah?" Auris masih tidak paham dengan apa yang sedang terjadi. Berusaha mencerna perkataan Levin.
"Ayo... Ikut main. Kalo nggak bisa biar diajarin sama kak Ravin." Levin sedikit terkekeh sembari melirik ke arah kakaknya.
"Ujung-ujungnya gue lagi yang repot." Ravin menggerutu setelah mendengar perkataan Levin -- adiknya.
"Itu kan tugas lo, kak. Terima nasib kali jagain jodoh orang." Levin tak berhenti meledek kakaknya itu, karena sangat menyenangkan bisa melihat raut wajah kesal Ravin.
"Gue nggak pengin ikutan main, kok." Auris tak mau merepotkan siapapun. Sebenarnya ia memang tidak berniat gabung bermain sekarang. Sedari tadi, ia justru membayangkan sosok kakak kelas yang menjadi idaman teman-teman di sekolah lamanya. Terlebih, ia bisa melihat raut wajah kesal Ravin yang tidak menyukai kehadirannya.
Ketika Auris hendak meninggalkan lapangan basket, tiba-tiba ada seseorang yang menahan tangan gadis itu. "Gue ajarin, sampai lo bisa. Mau, nggak?"
Auris menoleh ke arah orang itu. Senyumnya merekah seperti terhipnotis dengan senyuman Galen.
"Gue nggak pengin main, kak. Nggak bisa juga cara mainnya. Jadi--"
Galen tersenyum, lalu menarik Auris untuk mengikuti langkahnya. Auris terpaksa menuruti apa yang dilakukan oleh Galen. Tidak ada salahnya, ia menerima niat baik cowok yang menurutnya selalu bersikap hangat.
Perlahan, Galen mulai mengajari Auris teknik dasar permainan basket. Sejujurnya, memang tidak gampang mengajari seorang gadis yang baru pertama menyentuh bola basket. Terlebih, Auris terlihat sangat polos. Selalu bingung harus melakukan atau merespon bagaimana tindakan yang diajarkan oleh Galen.
Berbeda dengan lima cowok lainnya, yang sekarang hanya diam sembari memperhatikan interaksi Galen bersama Auris.
"Menurut lo, tuan putri gimana, Ji?" Levin memulai perbincangan dengan Jinan yang ada di sebelahnya.
Jinan terdiam, lalu memperhatikan sosok Auris yang sedang asik bermain basket dengan Galen. "Lumayan. Keliatannya asik diajak main. Lucu juga."
"Diajak main gundu, ya, Ji?" Levin sedikit meledek Jinan yang masih suka seperti anak kecil. Padahal, Levin juga tidak jauh berbeda dengan Jinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penjaga Hati [SELESAI]
Teen Fiction"Sebuah anak panah, tidak akan salah sasaran. Sama seperti cinta, takkan salah memilih. Meskipun, banyak jalan berliku. Namun, pada akhirnya akan kembali ke arah Sang pemilik hati." Ingatlah kata pepatah, cinta tidak bisa dipaksakan. Sama halnya, de...