[28] Kabur

43 27 8
                                    

🪐🪐🪐

Pergi tanpa pamit, bukan menjadi jalan terbaik untuk menghindari sebuah masalah. Justru, itu bisa menimbulkan masalah semakin rumit.

🪐🪐🪐

Auris sudah tersadar dari pingsannya. Namun, ia bingung kenapa sekarang sudah berada di rumah bukan lagi di sekolah. Seingatnya, terakhir kali ia mengobrol dengan Aurel. Mungkin sahabatnya itu yang membawa Auris pulang ke rumah.

Auris bangkit ranjang miliknya, karena ia merasa tak nyaman. Ia teringat, bila Aurel sempat mengatakan bila roknya basah. Ia segera mengambil benda yang dibutuhkan, lalu menuju kamar mandi.

Keluar bersih-bersih, Auris kaget melihat sudah ada Malvin yang duduk di ranjangnya sembari tersenyum. "Kak Malvin?"

"Lo nggak apa-apa, kan? Sori... Tadi langsung bawa lo pulang, soalnya gue panik pas liat lo pingsan." Malvin mengatakan apa yang sudah dilakukan serta terjadi.

"Nggak apa-apa, kak. Maaf... Ngerepotin kak Malvin. Hm... Kenapa kakak bisa tau kalo gue pingsan?" Auris merasa penasaran, dari mana cowok di hadapannya itu tahu kondisinya.

"Aurel yang telepon. Jadi, gue langsung buru-buru ke sekolah lo." Malvin kembali memperhatikan keadaan Auris. Sedikit lega, melihat gadis itu terlihat baik-baik saja.

"Oh gitu... Makasih, kak." Auris paham, bila Aurel pasti menghubungi Malvin menggunakan ponsel miliknya. Karena, di sana ada nomor telepon Malvin.

Malvin bangkit dari duduknya, lalu mendekat ke arah Auris. Sontak membuat Auris, sedikit mundur. Membuat, Malvin tersenyum paham bila gadis di hadapannya itu sangat waspada. Padahal, ia sama sekali tak berniat buruk.

"Istirahat yang cukup, ya. Itu di meja ada udah ada makanan buat lo. Hm... Sama obat biar perut lo nggak nyeri lagi." Malvin mengatakan itu dengan mengelus kepala Auris lembut penuh kasih sayang.

Auris menghela napas, merasa lega karena Malvin tak melakukan hal yang ditakutkan. Entah kenapa, akhir-akhir ini merasa tak nyaman mendapat perlakuan manis dari Malvin. Seharusnya, ia senang dan tak mempermasalahkan tindakan Malvin.

"Iya, kak."

Setelah kepergian Malvin dari kamarnya. Auris kembali berbaring pada ranjang, lalu berusaha memejamkan mata. Namun, ia sama sekali tak bisa beristirahat. Karena, ia merasa bosan hanya berbaring serta duduk di tempat itu. Biasanya, ia sudah berada di kantin bersama dengan yang lain.

Auris beralih menatap boneka beruang di sebelahnya. Melihat boneka itu, selalu saja membuat Auris teringat sosok Ravin.

"Kenapa susah banget sih dapat maaf dari kak Ravin." Auris cemberut, sembari memukul boneka kesayangannya itu. "Kak Ravin nyebelin!"

Semakin merasa bosan, Auris memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ia berniat mencari udara segar ke belakang rumah. Tanpa diduga, ia kembali mendengar percakapan beberapa asisten rumah tangga di sana.

"Kira-kira non Auris bakalan nerima den Malvin nggak, ya? Soalnya, pasti nanti bakalan kaget pas tau dijodohin pada usia muda." Wanita berusia tiga puluh tahunan mulai pembicaraan.

"Ra ... Jangan bahas masalah itu, non Auris lagi di rumah lho." Heni memperingatkan Ira, agar tidak membicarakan rencana perjodohan Auris dengan Malvin.

"Maaf..." Ira merasa bersalah, telah membahas hal penting itu. Ia takut bila Auris mendengarnya.

Auris terdiam, kenapa ia harus mendengar hal itu lagi. Rencana perjodohan, yang tak ia pahami. Auris berbalik badan, mengurungkan niatnya untuk ke taman belakang rumah. Ia kembali melangkah ke arah kamarnya untuk beristirahat.

Penjaga Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang