[11] Nasihat

69 55 6
                                    

🪐🪐🪐

Harus selalu bisa mengetahui situasi yang ada. Jangan sampai, kita dikendalikan. Kalau bisa, kita yang mengendalikan keadaan.

🪐🪐🪐

"Dasar bodoh! Ngapain nutup mata kayak gitu? Ngarep gue cium? Jadi, cewek nggak boleh sepasrah itu!" Ravin kesal, melihat reaksi Auris yang hanya diam seperti menunggu apa yang akan terjadi. Padahal, Ravin hanya ingin mengetes apa yang dilakukan Auris bila dalam situasi bahaya. Namun, ternyata gadis itu justru dengan pasrah menerima keadaan. Tidak ada perlawanan sama sekali.

Mendengar perkataan Ravin, yang tak pernah lembut kepadanya. Auris membuka matanya perlahan, sekaligus menghela napas. Sedari tadi gugup serta bingung. Sekarang ditambah, mendapat omelan dari mulut pedas Ravin. Sepertinya, ia harus mempunyai hati yang kesabarannya seluas samudera.

"Kenapa diam aja? Nanti... Kalo ada orang yang membahayakan lo harus lawan. Minimal menghindar, sekaligus tendang orang itu." Ravin memberi saran kepada Auris, yang terlihat sangat polos. Atau, mungkin pada dasarnya bukan polos lagi. Akan tetapi, gadis itu bodoh.

"Oke." Auris sembari mengangguk, mengerti apa yang dikatakan Ravin.

"Kalo dalam bahaya teriak sebisa lo. Biar, ada orang yang denger buat nolongin." Ravin tak mau bila Auris terus merepotkan dirinya.

"Iya, kak."

"Keluar dari kamar gue sekarang! Nggak ada keperluan apapun, kan?" Ravin mengatakan itu, tak nyaman bila ada seseorang berada di kamarnya tanpa izin darinya.

Auris menunjukan wajah cemberut di depan Ravin. "Gue ke sini mau minta bantuan buat ngabarin yang lain kalo nggak jadi belajar bareng."

"Terus apa hubungannya sama gue?" Ravin tak bisa menahan kekesalannya selalu direpotkan oleh Auris.

"Gue nggak punya hape. Jadi, kakak bisa bilangin ke yang lain, nggak?" Auris mengatakan apa yang sedari tadi menjadi tujuan utamanya ke kamar Ravin.

Ravin menghela napas, baru mengingat bila gadis di hadapannya itu tidak memiliki ponsel. Terpaksa ia menuruti permintaan Auris. Perlahan, Ravin mengambil ponsel miliknya yang ada di meja belajar. Kemudian, mengirim pesan kepada sepupu-sepupunya menginformasikan bila tidak jadi belajar bersama dengan Auris. Lebih tepatnya, batal mengajari Auris agar menjadi lebih pintar.

"Udah, kan? Sana keluar dari kamar gue!" Ravin menunjukan pesan yang sudah ia kirim kepada yang lain, sembari kembali mengusir sosok Auris dari kamarnya.

"Makasih, kak." Auris bangkit dari ranjang Ravin, lalu pergi meninggalkan kamar Ravin. Tahu, bila Ravin sudah sangat tidak nyaman dengan kehadirannya.

🪐🪐🪐

Selesai makan malam, Auris duduk di ruang tamu sembari menatap buku-buku paket pelajaran miliknya. Meskipun, sudah berusaha belajar sekaligus memahami setiap materi yang ada di sana. Namun, tetap saja tidak bisa masuk ke dalam kepalanya. Sepertinya memang benar, bila dirinya bodoh sejak lahir.

Auris masih terus berusaha belajar sebisanya. Saat tak paham, ia memukuli kepalanya karena kesal. Bagaimana tidak, dirinya kenapa berbeda dengan orang lain yang gampang mencerna setiap materi pelajaran.

"Auris nggak boleh ngelakuin itu? Kalo ada kesulitan bilang sama tante, biar nanti dibantu." Saras mendekat ke arah Auris, berusaha menenangkan gadis yang terlihat sedang tidak baik-baik saja.

Penjaga Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang