[25] Kecewa

48 31 13
                                    

🪐🪐🪐

Jangan pernah bermain-main dengan hati. Karena, itu bisa membuat sebuah rasa kecewa muncul. Dan, tidak akan mudah disembuhkan.

🪐🪐🪐

Beberapa hari kemudian. Ravin lega tidak ada masalah lagi muncul dalam hidupnya. Sekarang ia sudah berada di sebuah kafe yang tak jauh dari sekolahnya.

"Kak Ravin mau ketemuan sama siapa, sih?" Auris cemberut sembari mengaduk-aduk minuman miliknya dengan sedotan. Ia merasa sudah sedikit bosan menunggu teman Ravin. Terlebih, Ravin tidak mengajak saudaranya yang lain. Cowok itu hanya mengajak Auris.

Ravin tetap diam, malas menanggapi celotehan Auris. Sebenarnya, dari awal ia sudah malas mengajak Auris. Namun, sadar bila gadis itu harus pulang bersamanya setiap hari. Sudah menjadi tanggung jawabnya. Tak mau ada kejadian buruk terjadi bila Auris pulang sendiri. Mengingat beberapa waktu belakangan banyak kejadian tak terduga menimpa Auris.

Lima menit kemudian, seorang pemuda muncul sekaligus duduk di hadapan Ravin serta Auris.

"Sori... Vin. Gue telat banget, ya? Soalnya, tadi ban motor gue kempes." Pemuda itu, mengatakan alasan kenapa baru saja sampai di tempat itu.

"Nggak apa-apa, santai aja. Gue juga belum lama di sini." Ravin membalas perkataan itu dengan santai. Serta, dengan entengnya mengatakan belum lama berada di kafe. Padahal, jelas-jelas mereka sudah sekitar tiga puluh menit menunggu orang itu.

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ravin. Ingin sekali, Auris memprotesnya. Akan tetapi, ia teringat ucapan sekaligus peringatan Ravin. Bila ia tidak diperbolehkan banyak bicara ketika ada teman Ravin.

Auris menghela napas, masih kesal dengan Ravin. Bagaimana tidak, sikap cowok itu tidak bisa ditebak. Selalu membuat Auris sedikit terbang, detik berikutnya dijatuhkan.

"Vin... Soal pekerjaan jadi pelayan kafe tempat kerja gue masih ada. Lo serius mau daftar kerja di sana? Padahal, lo kaya raya lho." Jefry tak habis dengan jalan pikiran Ravin. Padahal, cowok itu berasal dari keluarga berada. Untuk apa mencari pekerjaan. Terlebih, hanya sebagai pelayan.

"Gue serius. Yang kaya kan bokap gue, bukan gue." Ravin terlihat serius dengan perkataannya.

"Oke. Kalo itu udah keputusan lo, biar nanti gue tanyain itu lowongan sampai kapan dibukanya." Jefry berniat membantu Ravin untuk mendapatkan pekerjaan.

"Thanks... Jef."

"Iya, sama-sama, Vin." Jefry tersenyum, sembari memperhatikan Auris yang sedari ada di sebelah Ravin. "Cewek lo, Vin? Cantik banget, cocoklah sama lo. Ternyata, lo pinter nyari pacar."

Ravin beralih menatap Auris yang masih sibuk dengan minumannya. "Dia bukan cewek gue, tapi anak dari temen orang tua gue."

Jefry tak berhenti tersenyum saat memandangi sosok manis Auris yang terlihat anteng di sebelah Ravin. "Kayaknya... Kalian dijodohin deh."

"Nggak. Gue cuma ditugasin buat jagain dia." Ravin langsung menjawab perkataan temannya.

Auris masih diam, sembari tersenyum kepada Jefry. Tak menyangka, bila Ravin mempunyai teman. Padahal, selama ini ia pikir Ravin hanya dekat dengan saudaranya.

Penjaga Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang