[31] Meluapkan Rasa

60 31 18
                                    

🪐🪐🪐

Mengungkapkan rasa perlu terlontar dari mulut dalam sebuah ucapan kata. Bukan hanya dengan tindakan. Karena, itu bisa menjadi tanda keseriusan sebuah hubungan. Status sebuah hubungan harus terlihat jelas. Agar, bisa menyakinkan sebagai tanda kepemilikan satu sama lain.

🪐🪐🪐


Dalam perjalanan, Ravin hanya bisa berharap masih mempunyai waktu untuk mengungkapkan apa yang dirasakan pada Auris. Berharap, Auris mengerti bila ia sedari kemarin takut serta ragu dengan perasaannya.

Ravin menghela napas, tanpa diduga ban motornya justru kempes ketika dalam keadaan seperti sekarang. Terlebih, hujan masih cukup deras. Ravin terpaksa meninggalkan motor miliknya, di depan sebuah pos jaga yang ada pada depan kompleks perumahan rumahnya. Karena, ia harus segera sampai di rumah Hendri. Papanya.

Ravin menitipkan keadaan miliknya pada satpam di sana. Kemudian, ia berlari secepat mungkin agar bisa sampai pada tempat tujuan. Ia sudah tak memikirkan, bagaimana keadaannya sekarang. Seluruh pakaiannya basah. Namun, itu tak menjadi masalah bagi Ravin. Yang terpenting, ia bisa menemui Auris.

Sesampai di depan rumah Hendri. Ravin tampak bingung melihat situasi di sana cukup sepi. Ia pikir, acara pertunangan Auris dengan Malvin sudah selesai. Karena, ia sudah tidak melihat kendaraan tamu undangan rekan kerja papanya.

Ravin terus berlari, sembari memasuki rumah mewah itu. Sesekali ia melihat kondisi rumahnya, ada yang aneh. Tidak ada dekorasi megah untuk sebuah acara. Sepertinya, memang acaranya sudah selesai.

"Kayaknya... Gue emang udah telat." Ravin menghela napas, hatinya sedikit merasa pedih serta menyesal.

"Den Ravin kok ada di sini?" Bik Sri melihat Ravin menghentikan langkah, sembari memperhatikan situasi ruang tamu yang tidak ada dekorasi pesta pertunangan.

"Hm... Non Auris di mana, ya, bik?" Ravin langsung menanyakan keberadaan Auris. Karena, itu memang tujuan utamanya untuk datang ke rumah itu.

"Non Auris ada di kamarnya, den."

Ravin langsung berlari, menuju ke kamar Auris. Ia segera ingin bertemu dengan gadis itu. Meskipun, Auris sudah menjadi tunangan Malvin. Kakaknya.

Bik Sri tersenyum, melihat salah satu anak majikannya itu berlari menuju kamar Auris.

Di sisi lain, Auris sedang berbaring pada ranjang miliknya. Ia mendengkus kesal, mengingat bila pertama kali jatuh cintanya tak sesuai ekspetasi.

"Raris, kak Ravin jahat banget ya nolak gue. Padahal, kemarin gue udah bilang yang sejujurnya tentang perasaan gue ke dia. Tapi, malah kak Ravin udah suka sama yang lain." Auris sembari seperti bicara dengan boneka beruang miliknya. Gadis itu, memberi nama boneka itu Raris. Yang merupakan singkatan dari namanya dengan Ravin. Ravin - Auris. Raris.

Tiba-tiba ada seseorang membuka pintu kamar Auris, membuat Auris kaget lalu bangkit dari ranjangnya. Ingin memastikan siapa seseorang yang datang. Auris menuruni ranjang, lalu berjalan menuju arah pintu.

"Kak Ravin? Kenapa ada di sini?" Auris kaget, mendapati Ravin-lah yang memasuki kamarnya dengan keadaan basah kuyup.

Ravin menghela napas, ia lega bisa bertemu dengan Auris lagi. Meskipun, sekarang gadis itu sudah menjadi milik orang lain.

"Selamat ya, semoga bahagia sama kak Malvin." Hanya ucapan itu, yang keluar dari mulut Ravin. Niatnya, untuk mengatakan tentang perasaan sontak hilang saat melihat Auris ada di depannya.

Auris mendengkus kesal, sembari cemberut mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ravin. Bagaimana tidak, cowok di hadapannya itu sepertinya memang tak punya hati.

Penjaga Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang