[14] Niat belajar

54 49 8
                                    

🪐🪐🪐

Semua orang perlu banyak belajar. Agar, bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Anggap saja, pembelajaran itu sebagai proses mencapai kesuksesan. Meskipun, pasti tidak akan mudah menjalaninya.

🪐🪐🪐

Auris mendongak menatap orang itu. "Kak Ravin?"

"Lo emang selalu bikin repot, pake sepatu aja nggak becus sampai tali sepatunya lepas." Ravin mengatakan itu, sembari perlahan berjongkok di hadapan Auris.

Auris terdiam, ia pikir Ravin akan membantu dirinya mengikat tali sepatu. Ternyata, pemikirannya salah. Ravin justru mengambil plester dari saku celananya. Lalu, perlahan cowok itu menempelkan plester ke bagian lutut Auris yang terluka. Tindakan yang dilakukan Ravin cukup membuat Auris terpaku memandangi sosok cowok dingin yang selalu tak ramah kepadanya. Akan tetapi, gadis itu sadar bila Ravin selalu ada di sekitarnya saat ia membutuhkan bantuan.

"Dasar bocah!" Ravin menggerutu, sadar bila Auris selalu ceroboh membuatnya repot. "Udah mau bel masuk. Lo nggak ngarep gue gendong, kan? Kaki lo cuma lecet nggak patah. Jadi, ayo... Berdiri, kalo nggak mau telat masuk ke kelas." Ravin memperingatkan Auris, membuat gadis itu sadar dari alam bawah sadarnya.

Perkataan Ravin, memang tak pernah lembut kepada Auris. Membuat Auris, harus selalu menghela napas berusaha sabar dengan setiap kalimat yang terucap dari mulut pedas Ravin. Bagaimanapun, ia sadar selama ini menjadi beban untuk Ravin.

"Iya." Auris perlahan berdiri, meskipun sedikit merasakan sakit pada lututnya. Namun, yang dikatakan Ravin benar itu hanya luka kecil. Pasti tidak akan menjadi parah, karena Ravin sudah menutup dengan plester.

Ravin berjalan terlebih dahulu, malas menunggu Auris yang sedikit tertatih saat melangkah.

Sabar, Ris. Kak Ravin kan emang gitu. Berdoa aja, semoga ke depannya dia bisa lebih baik sekaligus lembut ke lo. Auris sembari menatap punggung Ravin yang mulai menjauh. Cowok itu, memang tak acuh. Pantas saja, tidak ada yang mau berteman dengan Ravin.

Levin menghampiri Auris kesusahan berjalan. "Tuan putri mau digendong, nggak?"

"Nggak. Makasih tawarannya, Le. Kaki gue cuma lecet, nggak patah juga." Auris mengatakan hal itu, karena mengingat perkataan Ravin kepadanya.

Levin tersenyum. Paham bila Auris pasti kesal dengan Ravin. Sebenarnya, sedari tadi Levin memperhatikan interaksi Auris serta Ravin. "Lain kali, harus hati-hati, ya." Levin mengelus kepala Auris dengan lembut.

"Oke."

🪐🪐🪐

Saat jam istirahat, Auris memutuskan hanya duduk di kelas. Lututnya masih terasa sakit, membuat dirinya susah berjalan. Sembari menghabiskan waktu istirahat. Ia bermain game yang ada pada ponselnya. Karena, ia belum mendapatkan teman lagi. Ternyata, ucapan Ravin benar bila Linda bukan orang baik. Linda hanya memanfaatkannya, serta mempunyai maksud jahat kepadanya.

"Kenapa nggak ke kantin?" Tiba-tiba ada seseorang duduk di samping Auris.

"Kak Galen?" Auris kaget dengan kehadiran cowok itu secara tiba-tiba. "Hm... Lagi nggak pengin ke kantin. Kaki gue juga sakit, kak."

Perlahan Galen, memberikan satu kantong plastik berisi roti serta air mineral kepada Auris.

"Buat lo. Biar, tambah semangat sekolahnya. Gue tahu, lo ngerasa kesepian nggak punya di sekolah ini. Tapi, seiring berjalannya waktu nanti lo pasti punya temen yang tulus." Ravin mengelus rambut serta kepala Auris dengan lembut. Membuat hati Auris menghangat menerima perlakuan dari Galen.

Penjaga Hati [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang