Lembar ke 3. Berguru

521 40 10
                                    

Ke Hutan Kayu Wangi, ke sanalah Wisnu membawa Gilang, si bocah 12 tahun teman barunya. Usia mereka terpaut 5 tahun, namun entah mengapa selama di perjalanan Wisnu merasa cocok dengan anak itu yang ternyata sangat pandai mengambil hati, bahkan pandai bercanda, membuat Wisnu yang jarang mendapat hiburan jadi tertawa.

"Nah kita hampir sampai, di seberang sanalah hutan kayu wangi berada!" Ucap Wisnu sambil menunjuk ke seberang jurang lebar, dimana ada satu tebing yang dipenuhi oleh hutan-hutan berkabut tipis. Dari sana tercium bau harum yang di bawa oleh angin.

Sepasang bola mata Gilang melebar menyaksikan pemandangan menakjubkan itu. Tapi bagaiamana caranya mereka bisa ke sana, menyebrangi jurang di depan mata. Bola mata Gilang menatap liar mencari-cari jalan.

Wisnu tau apa yang dipikirkan oleh Gilang.
"Tidak ada jembatan di jurang ini, aku tak sempat membuatnya"

Gilang semakin bingung.
"Kalau tidak ada jembatan bagaimana kakak bisa melewati jurang ini?" Tanya Gilang penasaran.

Wisnu tersenyum kecil, "dengan ini" jawabnya sembari menepuk payung di punggungnya. Segera saja dia mencabut payung itu dan mengembangkannya, sekali payung diputar maka berkelebatan keluar sepuluh cahaya berwarna hijau yang akhirnya menjelma menjadi sepuluh buah payung, sepuluh payung itu berbaris memanjang mulai dari tepi jurang dimana mereka berdiri sampai ke ujung jurang di sebelah sana, dengan jarak antar payung sepenjangkauan ilmu meringankan tubuh milik Wisnu.

Gilang leletkan lidah karena kagum, selagi Gilang masih takjub, satu tangan telah menggelung pinggangnya, meraih tubuhnya. Segera saja Gilang eratkan tangan kirinya memeluk tubuh yang tengah menggendongnya.

"Ayo!" Ajak Wisnu. Tanpa tunggu jawaban pemuda ini pun laksana terbang melayang menyeberangi jurang dengan kaki menapaki satu persatu payung yang melayang-layang di udara. Jika ada yang melihat tentunya atraksi itu begitu indah dipandang, bagaimana seorang pendekar tampan dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna melayang-layang didampingi payung-payung yang indah.

Gilang merasa gamang, dia pejamkan mata tak berani melihat ke bawah jurang yang dalam .

"Kita sudah sampai di seberang Gilang" ucap Wisnu setelah dirasanya Gilang tak juga mau turun dari gendongannya. Akhirnya dia menepuk keras pantat si bocah bahkan siap menjatuhkannya.

Si bocah segera saja sadar, dia tak ingin jatuh bergedebukdiatas tanah. Saat itulah Wisnu baru mebyadari ada sesuatu yang hangat menempel di kulit punggungnya. Segera dia meraba dan membaui.

"Hueekkk! Beraninya kau mengompoli tubuhku!" Geram Wisnu, dia bersiap ingin menampar si bocah.

Gilang segera meminta ampun "maaf kang, aku ketakutan dan gamang tadi, jadi tak sadar sudah kencing dicelana, eh dibaju kakng"

"Bocah nakal!" Sungut Wisnu sambil mengusap punggungnya yang dikencingi, selain itu matanya segera mendelik melihat baju hijaunya yang dipakaikan ke pinggang Gilang telah basah dan bau pesing.

"Bajuku!" Jengkel sekali Wisnu.

"Maaf kang, aku janji akan mencucinya nanti"

"Aku tak mau memakainya lagi, bekas ompol bocah tengik!" Jengkel Wisnu.

Gilang cuma diam dengan mata yang masih memandangi hutan di sekitarnya, benar, hutan ini berbau harum yang menyegarkan dan melegakan nafas, pantas jika dinamakan Hutan Kayu Wangi.

Wisnu tindih rasa kesalnya, dia melangkah mendahului si bocah yang masih terkagum-kagum, ketika Wisnu telah hampir sepuluh langkah di depan barulah dia berlari kecil mengikuti Wisnu melintasi jalan setapak. Mereka semakin jauh memasuki hutan, dan akhirnya mereka sampai di satu pedataran yang sangat indah, luas dan dipenuhi tanaman bunga dan juga ada kolam pemandian, dan diatu sisi ada bangunan rumah kayu yang gagah.

CINTA DAN PEDANG ( DARAH CINTA TERLARANG) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang