Lembar ke 4. Perpisahan

450 40 9
                                    

"Cepatlah Gilang! Sini pijat pundak guru! Guru lelah sekali!" Teriak Wisnu di malam itu, tubuhnya telah berbaring tengkurap di atas ranjang.

"Guru lelah apanya? Kan yang latihan silat cuma aku, guru cuma melihat-lihat saja" protes Gilang, tapi walau begitu diam-diam hatinya senang, kapan lagi coba bisa menyentuh tubuh gurunya dengan bebas kalau bukan saat-saat seperti ini.

"Apa katamu? Apa kau pikir aku tak lelah? Saat kau berlatih sendirian, akulah yang harus mencari makanan dan memasak, bahkan mencucikan pakaianmu itu! Kau minta ku tampar?" Geram Wisnu sambil mengancam.

"Iya iya, ini udah aku pijat" sahut Gilang yang telah duduk di sebelah gurunya, tangannya mulai meraba pundak Wisnu yang tengah bertelanjang dada.

"Ke bawah sedikit, dekat tulang belikat!" Pinta Wisnu sambil menunjuk bagian tubuh yang harus dipijat.

Gilang menurut di turunkannya tangan dengan gerakan mengusap.

"Nah iya disitu" sahut Wisnu seraya mendesah kecil kenikmatan.

"Guru" panggil Gilang ingin bertanya lebih jauh.

"Hmmm" sahut Wisnu yang masih merem melek menahan geli bercampur nikmat karena pijatan Gilang.

"Apakah guru sudah pernah suka sama seseorang?" Tanya Gilang hati-hati.

"Hei pertanyaan seperti apa itu? Maksudmu jatuh cinta?" Jawab Wisnu dari tengkurepnya.

"Iya" sahut Gilang pendek.

Lalu terdengarlah suara tawa kecil dari mulut Wisnu.
"Aku masih 17 tahun, masih terlalu muda untuk hal seperti itu, lagipula aku tak pernah keluar jauh dari Hutan Kayu Wangi, mana pernah bertemu perempuan-perempuan cantik diluar sana. Kau ini, kecil-kecil sudah memikirkan cinta" 

"Siapa bilang aku masih kecil? Aku sudah mau jalan 13 tahun" protes Gilang yang tidak mau dikatai anak kecil.

"Kau pikir anak 13 tahun itu bisa apa? Jembut saja masih sehalus bulu hidung" ejek Wisnu, kini pemuda segar belia  itu telah bangkit dan duduk bersila di hadapan Gilang.

"Guru?" Sungut Gilang jengkel, dia kini merajuk dan ngambek. Mukanya dibuat secemberut mungkin.

Sungguh pemandangan itu sangat menggelikan Wisnu.

"Cup cup cup, anak manis jangan merajuk, nanti gantengnya hilang. Sini kakang peluk" goda Wisnu dia ulurkan tangannya untuk menggamit pinggang Gilang, namun bocah baru gede itu berkelit.

Wisnu kembali tertawa, sungguh tingkah Gilang yang seperti ini tak pernah dilakukannya dulu sewaktu masih ada kedua orang tuanya. Melihat Gilang memiliki sifat yang bertolak belakang darinya membuat Wisnu menyadari bahwa karakter manusia itu benar-benar beragam dan sangat menarik untuk disaksikan.

Wisnu tak habis akal, segera di sambarnya tubuh Gilang, dengan kesepuluh jarinya Wisnu menggelitik perut Gilang. Hingga anak itu langsung tertawa terbahak-bahak.

"Sudah guru! Geli sekali. Sudah"
Gilang meronta-ronta, namun gelitikan Wisnu semakin menjadi. Tak hanya ke perut tetapi juga ketiak bahkan hampir mengenai kelaminnya.

Ranjang itu pun bergoyang hebat lalu brakk, salah satu kakinya patah, kedua tubuh itupun terhempas diatasnya saling tindih.

Lagi, Gilang merasakan desir hebat. Apalagi jelas wajah Wisnu dengan mata hijau indahnya tak sampai sejengkal di depan wajahnya.

Tiba-tiba saja Wisnu turunkan wajahnya, lalu cup. Satu ciuman mendarat diatas keningnya.

"Kakang sayang padamu dik, jangan pernah tinggalkan kakang ya" ucap Wisnu lembut, lalu dia memeluk erat tubuh Gilang. Kemudian dia bangkit menggendong tubuh Gilang menuju ranjang lain, walau ukurannya lebih kecil, namun cukup untuk mereka berdua, walau kini keduanya harus saling berhimpitan.

CINTA DAN PEDANG ( DARAH CINTA TERLARANG) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang